Aku melambaikan tangan begitu melihat bis dengan jalur yang tepat mendekat. Hari sudah sore. Aku agak terlambat pulang hari ini. Dan aku merasa beruntung dengan adanya bis masih mengangkut penumpang di saat seperti ini.
Bis berhenti dan pintunya terbuka tepat di depan ku. Aku naik lantas mencari tempat duduk. Menurutku, lebih tepat dikatakan memilih dari pada mencari. Sebab bis di sore hari ini begitu lengang. Hanya ada satu dua orang. Aku memilih dekat jendela. Bis mulai berjalan.
“Erok maki’ moterek anne?” (Ini sudah mau pulang?)
Tiba-tiba terdengar suara dengan logat dan bahasa yang aku kenali dari belakangku.
“Yoiya! Cipurukmi battangku nampa parrisikmi bangkengku.” (Iya, lah! Perutku sudah lapar dan kakiku mulai sakit-pegal.)
Sahut yang lain. Ya, tak salah lagi, itu bahasa Makassar.
Waw...hehehe. aku tersenyum-senyum sendiri. Beberapa kali aku bertemu dengan orang-orang yang berbicara dengan logat atau aksen Makassar. Namun kali ini, di Jogja ini, baru kali ini aku menjumpai orang yang berbicara dengan bahasa Makassar. Tidak hanya sekedar logat atau aksennya. Melainkan juga bahasanya.
Waw...hehehe. aku tersenyum-senyum sendiri. Beberapa kali aku bertemu dengan orang-orang yang berbicara dengan logat atau aksen Makassar. Namun kali ini, di Jogja ini, baru kali ini aku menjumpai orang yang berbicara dengan bahasa Makassar. Tidak hanya sekedar logat atau aksennya. Melainkan juga bahasanya.
Apa bedanya? Bahasa Makassar yang kugunakan sehari-hari ialah bahasa Makassar yang sederhana. Sebab kebanyakan tetap menggunakan bahasa Indonesia namun diberi imbuhan dan kata ganti saja seperti: mi, pi, mo, ji, nah, na, ko, to,di’, dan sebagainya.
For example: “Besokmo dilanjutkanki, nah!”
Artinya: “Dilanjutkannya besok saja, ya!”
Well, sebetulnya aku bukan asli Makassar. Mungkin itu sebabnya aku tidak menguasai bahasa Makassar yang kental. Aku hanya bisa yang sederhana seperti di atas. Orang tuaku asli Jawa Timur. Ayahku dari Bangil dan ibuku dari Surabaya. Aku pun lahir di Surabaya. Tapi sepertinya aku hanya numpang lahir. Hehehe.
Umurku baru tiga bulan ketika ayahku bertugas ke Makassar dan menjadi dosen di sana. Kami sekeluarga pun pindah ke Makassar. Sejak itu aku mulai membuka mata di Makassar. Dari aku belum bisa ingat apa-apa hingga aku tumbuh menjadi anak yang lucu dan akhirnya menjadi seorang remaja berusia 15 tahun, aku tetap di sana.
Setelah SMA aku pindah ke Jogja, mengikuti sepak langkah kakak-kakakku yang menuntut ilmu di kota pelajar ini. Aku pergi. Selamat berpisah, Makassar. Hiks hiks. I’ll come back. Dengan aku hijrah ke Jogja, itu berarti pula aku akan hidup lebih mandiri. Bukan lagi Mama Papa yang aku salimi saat berangkat sekolah, bukan lagi mesin cuci yang mencuci baju kotorku, tak ada lagi suara riang adik-adikku yang masih TK. Dan itu memang resiko yang harus kuterima.
Di sekolah aku sering dijuluki Cah Makassar. Dan aku tidak keberatan. Karena memang aku menghabiskan awal hidupku di sana. Dan itu sangat memberi arti bagiku. Ya, aku tidak keberatan dipanggil begitu. Tapi, aku sungguh keberatan dan tidak terima jika ada yang mengatakan hal-hal buruk mengenai Makassar.
Mereka pikir, semua orang Makassar selalu kasar. Kalau mereka hanya melihat dari namanya, Makassar, dan mendapati kata ‘KASSAR’ di sana, lalu berasumsi bahwa itu berarti ‘KASAR’, itu salah besar. Sejak kapan ‘MAKAN’ menjadi ‘MAKKAN’? ‘KASSAR’ bukan berarti ‘KASAR’. Mungkin aku tidak bisa menyalahkan temanku yang mengatakan bahwa banyak orang Makassar yang kasar. Sebab aku tahu, di Jogja, Surabaya, Madura, Batak dan sebagainya juga ada orang yang kasar.
Perlu digaris bawahi, bahwa orang Makassar memang terkenal kasar bicaranya. Tapi itu bukan berarti kasar perbuatan atau kotor omongannya. Tahukah kalian, di Makassar pun ada tingkatan kesopanan berbahasa, yang kalau di Jawa dikatakan Ngoko, Kromo dan Inggil? Walaupun hanya untuk kata ganti saja. Dan mungkin lebih terbagi dua. Antara Ngoko dan Inggil. Namun itu benar-benar selalu diterapkan.
Anak-anak dari yang masih kecil pun akan bisa membedakan untuk menyebut temannya atau kakak dan orang tuanya atau gurunya. Aku suka hal itu. Aku bangga dan aku kagum.
Aku pun sebenarnya tidak terlalu bisa berbicara dengan bahasa Makassar yang kental. Tidak bisa sama sekali. Sampai saat itu tiba. Saat dimana aku tidak diterima di SMP yang kudaftari. Dan akhirnya aku terdampar di sebuah SMP terpelosok di desa dengan nama Bontomarannu.
Di sana aku menemukan teman-teman yang tulus dan baik hati. Mereka yang sederhana selalu bisa menerima apa yang ada. Tidak banyak protes dan mengutamakan memberi dari pada diberi.
Di sana, aku mau tidak mau harus berbahasa Makassar. Dan akhirnya aku bisa. Bisa sedikit. Hehe... Dengan bantuan teman-temanku, aku mulai mengenal dan mulai bisa berbicara dengan bahasa Makassar. Itu pun dengan susah payah. Aku masih ingat ketika aku pertama kali jajan di kantin.
“Beli yang ini.” aku menunjuk snack yang tergantung berjejer dengan snack lainnya.
“Siapa?” tanya si penjual. Aku terheran. Ragu-ragu aku menjawab,
“Sa... saya?”
Ganti si penjual yang heran. “Siapa nubeli?” tanyanya lagi. Hah? Aku nggak beli siapa-siapa. Aku beli snack. Duuuh, ini maksudnya apa, ya? Hik hik. Batinku. Ah, mungkin tanya siapa yang beli. Pikirku lagi setelah tidak mendapat jawaban.
“Saya.” Pelanku. Si penjual menghela napas. Aku hanya ingin beli snack itu. Cepatlah potong dan aku akan membayarnya. Tak perlulah bertanya yang aneh-aneh. Lagi-lagi membatin.
Tak juga mengguntingkan aku sebungkus snack, ia malah terus bertanya,
“Siapa nubeli?” kali ini dengan wajah memelas. Aduh aku jadi tidak enak. Lalu dengan muka yakin aku berkata,
“Saya!” dan si penjual hanya bisa menatapku dengan mengiba. Mungkin dalam hatinya ia jengkel sebab ia harus melakukan pekerjaan lain. Namun satu pembeli ini sangat merepotkan. Tiba-tiba Kiki, teman sekelasku datang juga ingin jajan.
“Kikiiiii!” panggilku. Si penjual yang kenal dengan Kiki menceritakan yang terjadi dengan bahasa Makassar yang fasih, cepat dan lugas. Terdengar bagai aliran musik di telingaku. Ya, aliran musik tak dikenal. Setelah si penjual berhenti bercerita, Kiki manggut-manggut sambil tersenyum geli.
“Nana, ‘siapa’ itu artinya ‘berapa’. Bukan siapa dalam bahasa Indonesia.” Jelasnya.

“Ru... rua.” (rua=dua) Pelanku.
“Njok! Kulleji!” (Tuh, bisa!) seru si penjual.
“Kalau angka saya bisa. Sekre, rua, tallu, appak... hehehe.” Kataku.

“Hahahaha!” suara keras dari belakang membuyarkan lamunanku. Dua orang Makassar tadi sedang bersenda gurau.
Ketika aku hampir sampai tujuan, aku berdiri. Ternyata dua orang tadi juga akan turun. Namun dua orang itu terlebih dahulu mengatakan kiri. Saat ingin membayar, salah satu dari mereka bertanya pada sopir,
Aku kaget. Ingin tertawa, tapi kutahan. Kurasa ia lupa sedang berada di Jawa, bukan Makassar. Maka aku berkata,
“Berapa. Teai siapa. Tena naisseng anjo.” (Berapa. Bukan ‘siapa’. Dia tidak akan mengerti) Aku tersenyum. Orang itu menatap tak percaya.
“Rua tau limassakbu” (dua orang lima ribu) kataku lagi. Ia masih terpaku.
“Mas,” panggil supir bis. Si cowok Makassar itu akhirnya sadar lalu menyerahkan uang lima ribu rupiah dan segera turun. Aku tersenyum. Tertawa kecil. Ooh, Makassar. Aku rindu.
0 komentar:
Posting Komentar