Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Kerang Pantai (3-end)

  • Minggu, 16 September 2012
  • Malika Nur Azkiyah


  • Besok pembagian rapor mid semester. Berarti besok hari terakhir Aulin bisa satu sekolah dengan Aufan. Dan hingga kini ia belum ada kemajuan. Tentang tatapan saat evaluasi kemarin, ia masih tak yakin itu berarti. Ia mulai memikirkan bahwa memang ia tidak ditakdirkan dekat dengan Aufan. Tidak dekat. Hmm… ini artinya Allah masih sayang sama aku, kan? Dekat sama cowok yang gak mahram kan bawaannya dosa. Akhirnya pemikiran itu yang selalu Aulin dengungkan agar hatinya bisa ringan.
    “Kamu serius gak mau ngomong sama Nafo buat yang terakhir, Lin?” tanya Husni.
    “Heh, ini belum tentu terakhir kali, Ni! Kan kalo jodoh, mesti bakal ketemu lagi! Hehe,” balas Aulin. Mereka tertawa.
    “Masih bisa kayak gitu, ya, kamu! Aku aja eman-eman cowok ganteng sekolah kita hilang satu,” kata Salwa.
    “Kalo ngomong, aku harus ngomong apa?” Aulin mulai goyah.
    “Kalo mau ekstrim sih, kamu bilang aja tentang perasaanmu. Tapi aku yakin kamu gak bakal lakuin itu,” Salwa menggantung ucapannya. “Kamu bicara saja sama dia. Bilang, kalo yang kemarin nemuin kartu pelajar dia itu kamu. Atau apa, kek, terserah. Hahaha.”
    “Eh, eh, ke situ yok! Tuh si Nafo udah di sana sama temen-temen!” husni menarik kedua sahabatnya.
    “Eh? Tunggu!” aulin tiba-tiba takut dan deg-degan. Ia agak meronta, tetapi karena malu, ia jadi diam saja ditarik oleh husni menuju depan asana ROHIS. Di sana sudah ada Ezha, Aufan dan anak-anak lain. Juga ada Fanni dan Nilam. Dua gadis yang Salwa bilang menyukai Aufan. Mereka tampak memberikan bungkusan kepada aufan. Sepertinya kenang-kenangan. Husni dan salwa bergabung dengan mereka, sedangkan aulin bersembunyi ke dalam asana. Setelah beberapa lama, satu per satu mereka bubar. Kini tinggal husni, salwa, Ezha dan aufan yang tersisa. Mereka masuk ke dalam asana. Aulin kaget. Ia mengambil buku tulis dan pulpen yang ada di dekatnya dan menulisinya. Sok sibuk dengan apa yang dilakukannya, ia pura-pura tidak peduli dengan teman-temannya yang masuk.
    “Lin, kamu ngapain, sih?” tanya husni. Ia mendekati sahabatnya itu. Aulin tersenyum menggeleng.
    “Maaf, bukunya,” aufan mengulurkan tangan pada aulin. Awalnya aulin bingung. Tetapi begitu melihat nama pemilik buku yang ia bawa, ia jadi malu sendiri. Yang ia coret-coret tadi adalah buku aufan.
    “Aduh, maaf maaf! Ini, maaf, aku minta satu lembar, ya!” ia merobek lembar yang tadi ia coreti. Gilaaa! Aku malu-maluin banget, sih >,<
    Salwa dan husni tertawa kecil melihatnya.
    “Halah, gak apa-apa. Nyante aja,” aufan tersenyum. Baik banget, sih, kamu, Fan!
    “Aufan udah mau pindah, ya? Moga di sana bisa tetap jadi yang terbaik,” pelan aulin pada aufan. Aufan tersenyum mengangguk.
    “Makasih, ya, Aulin,” kata aufan. Aulin agak terkejut ketika namanya disebut oleh aufan. Mungkin karena aku koordinator sie acara. Masa’ ketua gak tau nama koor sie acaranya sendiri. Batin aulin. Dulu, ketika dalam kepanitiaan, aufan tidak pernah memanggil namanya. Jika ia harus memanggil aulin, ia akan menyebutnya, ‘Koor Sie Acara’.
    “Aulin, aku mau bilang,” tiba-tiba aufan duduk tepat di depan aulin. Aulin gelagapan. Ada apa, nih?
    “Aku mau bilang makasih. Kamu baik sekali. Sejak kecil sampai sekarang. Mungkin kamu gak ingat aku,” kalimat menggantung aufan membuat aulin penasaran. Ia masih tidak mengerti apa yang diucapkan aufan. Aufan kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya. Sebuah kulit kerang  kecil lucu berwarna cokelat muda. Ia menunjukkannya pada aulin. Aulin terkejut begitu melihat namanya tertera pada bagian dalam kulit kerang itu. Tulisan dengan spidol permanen berwarna hitam. Tulisannya jelek, khas anak kecil, tetapi aulin bisa membaca namanya di sana. Nama kecilnya; Olin. Hanya satu orang yang tahu. Teman kecilnya di manado. Teman kecil yang juga memberikannya kerang yang sama.
    “Aku... punya kerang kayak gini juga,” pelan aulin sambil terus mengamati kerang itu. Ia mengingat kembali kenangannya ketika ia dan ibunya akan pindah dari Manado. Aulin bertukar kerang itu dengan satu-satunya sahabatnya. Sahabat yang selalu menemaninya di pantai. Ia bahkan ingat kata-kata sahabatnya itu saat memberi kerang pantai itu. ‘Supaya kamu bisa selalu ingat pantai di sini. Juga, supaya setiap kamu ingat pantai waktu lihat kerang ini, kamu juga bisa ingat aku.’ Tetapi nama anak itu bukan aufan.
    “Kerang punyaku dari sahabatku. Namanya... Obet,” aulin memandang aufan. Obet anak kecil kurus dengan kulit coklat terbakar. Berbeda dengan aufan.
    “It’s me,” singkat aufan. Aulin mengerutkan kening. Rasanya tidak mungkin.
    “Obet? Kamu obet? Masa’ sih?” aulin ingin tertawa, kalau saja salwa dan husni tidak menyikutnya.
    “Lin, gak mungkin aufan bohong tentang ini. Kamu aja gak pernah ceritain tentang obet ke aku atau pun husni. Aufan gak mungkin bisa tau, kalau bukan dia sendiri yang namanya obet!” salwa menceramahi aulin.
    “Tapi obet...” aulin diam. Tak mampu melanjutkan kata-katanya.
    “Nasrani. Ya, Aulin. Robertus atau Obet emang nasrani. Tapi setahun setelah sahabatnya pindah, ia memilih untuk ikut pada agama ayahnya, Islam. Dan sejak itu nama obet jadi Aufan. Aufan Al-Azhar,” jelas aufan.
    “Subhanallah,” gumam ezha, salwa, husni dan aulin.
    “Jadi sekarang kamu mau balik ke manado buat tinggal di sana? Kenapa?” aulin kembali merasa sedih. Ia senang bisa bertemu dengan teman kecilnya yang telah lama ia rindukan. Ia pernah mencari tahu tentang obet lewat internet. Tetapi hasilnya sia-sia. Lagi pula ia tidak tahu bagaimana rupa obet setelah sekian lama tak bertemu. Dan kini obet ada di depannya. Tetapi besok ia akan pergi. Pisah lagi? Setelah lama gak ketemu? Kenapa kamu jahat banget, sih, Bet. Kenapa gak ngomong dari dulu kalo kamu itu obet? Keluh aulin. Ia bahkan lupa pada perasaan sukanya. Sekarang ia benar-benar menatap aufan sebagai obet, sahabat kecilnya.
    “Ibuku, Lin. Aku sejak SMP sudah sekolah di Jogja. Dan aku tidak akan kembali sebelum ibuku masuk Islam. Dan sekarang ibuku memenuhinya. Ibuku sekarang sudah muslim. Aku juga harus penuhi janjiku.”
    “Alhamdulillah,” kata aulin sambil tersenyum. Air matanya menetes. Perasaannya bercampur aduk antara bahagia atas ibu aufan yang mendapat hidayah dan sedih karena aufan akan segera berpisah dengannya. Di hari terakhir aufan itu, aulin hanya bisa menangis tanpa suara. Tangannya menutupi wajahnya. Ia ingin berhenti tetapi tak bisa. Husni dan salwa selalu ada di sisinya untuk menenangkan. Aulin terus menangis. Aufan hanya bisa memandang dengan iba. Bahkan ezha juga ikut menitikkan air mata, meski disembunyikan.
    “Semoga... di sana... kamu bisa jadi lebih baik lagi. Aku harap... kita bisa ketemu lagi,” kata aulin di sela-sela tangisnya. Lalu ia meninggalkan asana, diikuti husni dan salwa.
    .oOOOo.
    Aulin tidak berangkat sekolah di hari perginya aufan. Kepada ibunya, ia bilang sedang sakit. Dan memang begitulah adanya. Ia sedih. Matanya bengkak dan merah. Membuatnya jika ditanya sakit apa, ia bisa bilang sakit mata. Ia tidak mengangkat telepon dari sahabat-sahabatnya. Ia terus di kamar. Keluar saat ibunya menyuruhnya makan dan saat waktu sholat tiba. Itu saja. Sisanya ia gunakan untuk tidur dan menghibur diri dengan menatap langit dari jendela kamarnya.
    Ketika sore tiba, ezha datang bersama husni dan salwa. Aulin menemuinya di beranda rumah. Matanya yang agak sembab tak membuat ezha dan dua sahabat aulin terkejut.
    “Heh, cengeng, jangan nangis terus dong!” kata salwa. Aulin tambah cemberut.
    “Aku udah gak nangis, tuh,” balasnya. Mereka tersenyum. Ezha sendiri sebetulnya juga sedih, berpisah dengan sahabatnya di ma’had sekolahnya itu.
    “Aku juga sedih, aufan pindah. Tapi, toh, jarak bukan halangan untuk tetap bersahabat. Malah aku ada alasan dan motivasi buat bisa ke manado,” hibur ezha. Aulin ikut tersenyum. Dua sahabatnya merangkul di kedua sisi.
    “Nih, dari aufan. Mmm... atau bagimu, Obet.” Ezha menyerahkan sesuatu pada aulin. Kotak kecil berbungkus kertas kado yang manis. Aulin menerimanya. Ia tak langsung membukanya. Tiga temannya tidak memaksanya, meskipun mereka sangat penasaran dengan isi kotak itu.
    Cincinkah? Batin husni.
    Mungkin surat. Pikir ezha.
    Jangan-jangan, isinya bom? Bom cinta. Hehehe. Salwa cekikikan sendiri. Aulin, husni dan ezha langsung menatap salwa dengan heran. Salwa kaget.
    “Kenapa?” tanyanya sok polos.
    “Mukamu... ada sesuatu di mukamu,” kata husni. Ganti salwa yang heran.
    “Apa?” tanyanya sambil mengelus-elus wajahnya.
    “Ada muka badutnya!” kata aulin sambil mencubit pipi salwa. Mereka lalu tertawa bersama.
    “Makasih, ya. Kalian udah hibur aku. Aku baik-baik aja kok,” kata aulin.
    “Sama-sama,” jawab mereka serempak.
    Maghrib mulai menyapa. Sebentar lagi para muadzin akan menyerukan panggilan kapada para muslimin untuk bersujud pada-Nya. Ezha, husni dan salwa pamit. Begitu mereka pulang, aulin siap-siap sholah berjama’ah di masjid. Sepulang dari masjid, ia segera menuju kamarnya. Ia membuka kotak yang aufan titipkan pada ezha untuknya. Degan hati berdebar, ia ambil sesuatu yang ada dalam kotak itu. Sebuah gantungan kunci lucu berbentuk huruf yang merangkai namanya dan nama aufan di masa kecil mereka; Olin dan Obet. Satu huruf O besar untuk dua nama itu. Indah sekali.
    Di dalam kotak ternyata masih ada satu lagi kertas kecil. Aulin memngambilnya dan melihat apa yang tertulis di situ. Sebuah gambar monitor dan kaca pembesar. Ada juga keyword bertuliskan ‘olinobet’. Aulin tersenyum. Ia menuju komputer. Membuka sebuah search engine dan mencari dengan kata kunci ‘olinobet’. Setelah beberapa kali mencoba, ia menemukan sebuah blog. Setelah melihat profilnya, ia yakin pemiliknya adalah obet atau aufan meskipun ia tidak menuliskan dengan jelas data dirinya. Di dalamya ada foto-foto pantai di dekat rumahnya dulu. Beberapa tulisan membuatnya kaget.
    “Aku suka nama baruku. ‘AUFAN’. Nama yang tak jauh berbeda dengan namanya.”
    “SMP, aku memutuskan ke Yogyakarta, kota tempat dia berada sekarang.”
    “SMA, akhirnya aku bisa satu sekolah dengan dirimu! Tapi bagaimana caranya aku menyapamu? Aku malu.”
    “Hahaha,” aulin tertawa. Tidak menyangka. Ia baru tahu aufan punya sisi seperti ini. Aulin lanjut membaca.
    ”Sore tadi aku terpaksa keluar di hari hujan karena butuh sesuatu. Tetapi, ini adalah hari yang indah. Ketika aku sudah hampir sampai gerbang, tiba-tiba sebuah payung di lempar ke arahku. Sepertinya dari balik tembok. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Dan tahukah kau? Di payung itu ada nama pemiliknya. Hatiku berdebar saat mebacanya. Aku berharap yang melempar payung itu adalah dia. Kutaruh payung itu di bawah pohon. Agar dia ambil dan gunakan. Aku tidak mau dia masuk angin karena kehujanan.”
    Aulin menahan nafas. Ia jadi malu sendiri. Setelah ia ingat-ingat memang payung itu ada gantungan namanya, hadiah dari toko tempatnya membeli payung.
    “Dia gadis yang baik. Persis seperti yang dulu. Semoga aku yang seperti ini bisa membuatnya jatuh hati. Semoga dengan gelarku sebagai ketua osis dan fisikku ini bisa membuatnya menyukaiku.”
    “Aku salah. Dia tidak seperti gadis kebanyakan yang mengejar gelar, tampang atau harta. Dia gadis sholihah. Astaghfirullah. Berapa tahun sudah aku di jalan yang benar ini, kenapa belum bisa memahami ini? Maafkan aku. Aku akan jadi hamba yang baik.”
    “Sudah kubilang dia gadis yang baik. Kartuku yang sengaja kujatuhkan betul-betul ia ambil dan kembalikan. Dia menulis begini,” sebuah hasil scan kertas dengan tulisan tangan aulin terpajang di sana. “Aku akan terus menyimpan ini.”
    Aulin tersenyum. Tetapi air matanya memaksa keluar. Ia terus membaca hingga tulisan terakhir yang berbunyi,
    “Dia gadis yang baik. Juga gadis yang cerdas. Aku sayang padanya. Aku akan menunggunya. Tepatnya aku akan mempersiapkan diriku untuk bisa bersamanya dengan halal.”
    Aulin menangis haru. Tak henti ia bersyukur pada Allah azza wa jalla. Lantunan adzan isya’ mengalun sangat indah di telinga aulin. Segera ia bersiap untuk bersujud kepada Yang Maha Kuasa.

    Kerang Pantai (2)

  • Malika Nur Azkiyah

  • Lagi-lagi ia pulang terlambat. Namun kali ini ia sudah izin terlebih dahulu pada ibunya. Jadi ia merasa sedikit tenang. Azan ashar berkumandang. Ia telah siap di mesjid sekolahnya. Ia akan segera pulang setelah ini. Kembali hujan rintik-rintik. Aulin sholat dengan khusyuk. Saat itu masih ada beberapa anak di sekolah. Ia tidak merasa sendirian.
    Saat Aulin hendak memakai sepatu, ia teringat akan kartu milik Aufan. Ia ingin segera memberikannya sebelum Aufan kebingungan mencarinya. Ia mencari cara agar tak perlu berbicara dengannya untuk mengembalikan kartu itu pada pemiliknya. Bukannya aku seharusnya malah senang karena bisa ada kesempatan bicara sama Aufan? Kok malah gak berani ngomong. Huft... batinnya.
    Tiba-tiba Aulin merasakan ada langkah kaki yang mendekat. Ia menoleh. Ada Aufan dengan senyum yang mengarah padanya.
    “Kok belum pulang?” tanyanya. Jantung Aulin serasa berhenti.
    “La... lagi ada tugas tadi,” Jawabnya gugup. Aufan mengangguk-angguk.
    “I... ini. Aku mau ngembaliin kartu ini. Punyamu, kan? Tadi jatuh,” Aulin menyerahkan kartu itu pada Aufan. Aufan tersenyum senang.
    “Alhamdulillah, makasih banyak, ya, Lin. Aku kira ini bakal hilang. Untung kamu yang nemuin. Kalau orang lain mungkin sudah dibuang,” Aufan menepuk pundak Aulin. Aulin kaget. Mengapa Aufan bisa mengetahui namanya? Mengapa Aufan menyentuh pundaknya? Mengapa, oh, mengapaaa!! Teriaknya dalam hati sambil menutup mata.
    “Heh, kok belum pulang?” tanya Pak Satpam yang telah berdiri di depannya. Satpam? Oh, ternyata tadi cuma khayalan. Ya, KHAYALAN BELAKA. Sekali lagi, ada banyak kemustahilan atas khayalan tersebut.
    Pertama, mana mungkin Aufan tersenyum padanya tiba-tiba. Kenapa tidak? Kalau cuma senyum,  kan, gak apa-apa! Batin Aulin.
    Kedua, mana mungkin Aufan tahu namanya. Ya, siapa tahu Aufan gitu-gitu perhatian sama aku. Setidaknya tahu namaku. Kan dia tinggal di asrama. Ada Ezha dan yang lain yang sekelas sama aku. Mungkin aja dia tahu dari mereka, kan? Lagi-lagi protes.
    Ketiga, ikhwan kayak Aufan gak bakal nyentuh cewek yang gak mahram sama dia. Apalagi, Aufan orang yang konsisten. Uuuuh! Oke oke. Itu cuma khayalan. Khayalanku yang bodoh banget. Iiiih, sebel! Segitu gak ada peluangkah untukku?
    “Mbaak?” panggil Pak Satpam yang sedari tadi tidak mendapat jawaban.
    “Haa? Apa, Pak? Kenapa?” Aulin gelagapan.
    “Kok belum pulang? Udah sore.”
    “Oh, iya, Pak. Nih udah mau pulang.” Jawab Aulin singkat. Pak Satpam meninggalkannya. Aulin meraih saku celananya. Ia menimang-nimang kartu milik Aufan. Berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan. Kembali ia memandang lekat kartu itu. Tepatnya pada nama yang tertera di sana. Hmm. Nama itu.

    .xXXXx.

    Seorang siswa baru saja selesai sholat ashar dan ingin segera kembali menuju asrama. Ia berjalan cepat menuju sandal jepitnya. Saat akan memakai sandalnya, ia melihat ada sesuatu di atas sandal itu. Kertas kecil dan...
    “Kartuku! Akhirnya ketemu!” serunya. Ia pun memungut sepotong kertas yang ada di bawahnya. Aufan membacanya pelan.
    Tadi jatuh. Lain kali hati-hati, ya!’ Aufan tersenyum. Lalu menoleh ke sekelilingnya. Namun sekolah sudah sepi. Ia tidak menjumpai seorang pun. Akhirnya ia menyimpan kartu itu. Juga kertas tadi. Kemudian dengan tersenyum ia kembali ke asrama. Di balik tembok masjid, Aulin bernafas lega melihat kartu yang tadi di tangannya kini telah sampai pada pemiliknya.

    .xXXXx.

    “Wah, tumben, tuh, si Nafo dateng,bisik Husni pada Aulin. Aulin mengangguk sambil menebar senyum manisnya. Mereka sedang berada dalam rapat kegiatan organisasi ROHIS. Dan kali ini Aufan datang.
    “Senyummu gak manis, Lin. Kecut. Haha...” Salwa tertawa.
    “Ehm! Jangan bikin forum dalam forum, ya!” Kak Zein yang memimpin pertemuan itu menegur galak. Husni, Salwa dan Aulin merengut.
    “Nyante, Dek. Aku gak marah beneran, kok,” Kak Zein tersenyum. Ketiga anak tadi pun nyengir kuda.
    “Oke, sekarang pembentukan panitia. Ketua kegiatan kali ini adalah Aufan!” serunya. Aufan langsung berdiri.
    “Siapa yang nyuruh berdiri?” tanya Kak Zein sambil cengar-cengir.
    “Yaa, supaya pada kenal sama ketuanya, gitu,dengan pedenya ia berkata.
    “Huuuuuu!” yang lain menimpali. Aulin ikut tersenyum.
    “Sekretarisnya...” Kak Zein menggantungkan kalimatnya. Husni dan Salwa yang berada di samping kiri kanan Aulin berbisik,
    “Aulin, Aulin, Aulin!”
    “Salwa!” seru Kak Zein. Salwa langsung berdiri karena kaget.
    “Hah? Maaf, Kak, aku gak bisa. Bener-bener gak bisa. Ini kan acara yang cukup besar. Mending yang berpengalaman aja,” Tolak Salwa.
    “Coba aja dulu. Ini sudah di bicarakan sama alumni. Tolong jangan ada yang menolak ya!” Kata Kak Zein tegas. Salwa melirik Aulin. Aulin tersenyum.
    “Ayolah. Nyante wae!” kata Aulin.
    Sekretaris II Rizka. Bendahara I Ezha. Bendahara II Bila,” Kak Zein menetapkan panitia lainnya.
    “Koordinator acara, Aulindya!” Seru Kak Zein sambil menoleh ke arah Aulin.
    “Ha? Aku?” Aulin hendak protes. Koordinator acara? Gila! Berat amat tugasku! Tetapi begitu melihat mata Kak Zein yang mendelik galak seperti hendak menghabisinya, ia hanya tersenyum kecil.
    “Si... siap,pelan Aulin. Husni tertawa kecil.
    Yang jadi pembantunya, Husni!” lanjut Kak Zein. Husni terlonjak kaget. Giliran Salwa dan Aulin yang tertawa.

    .xXXXx.

    Kegiatan ROHIS yang akan diadakan kali ini adalah kegiatan terakhir sebelum jabatan angkatan tahun ini akan diganti. Sebentar lagi ujian tengah semester akan dilaksanakan. Walau mepet, semua harus tetap berjalan sesuai jadwal. Belajar tetap, kegiatan lancar.
    Kegiatan kali ini ialah kajian yang berupa talkshow yang berisikan tentang organisasi/aliran Islam yang banyak bermunculan terutama di Indonesia ini. Dan karena aliran-aliran tersebut banyak menjadikan pemuda sebagai pengikut, maka untuk itu, perlu diadakannya kajian untuk menambah wawasan dan memperkuat keimanan para pemuda, dimulai dari sekolah dalam kegiatan tersebut.
    “Gimana, Mbak Sekretaris?” tanya Aufan. Salwa menoleh.
    “Alhamdulillah proposal sudah hampir selesai. Tinggal sentuhan akhir,jawabnya. Aufan mengangguk angguk.
    “Bendahara?” tanyanya pada Ezha. Ezha menjelaskan keadaan keuangan.
    Semenjak ia menjadi sekretaris kegiatan ini, Salwa cukup dekat dengan Aufan. Salwa mendekati Husni dan Aulin yang sedang mencoba menyusun acara.
    “Nafo dekat sama Nilam, anak kelas sebelahnya. Aku  juga sering lihat dia sama Fanni. Sabar, ya, Lin! Hehe.”
    “Kamu tau dari mana, Wa?”  tanya Husni.
    “Sebagian dari pengamatan, sebagian tau pas cerita-cerita bareng pas rapat.”
    “Wah, bayangin aja, aku harus bersaing sama nilam yang cantik dan supel. Ditambah lagi fanni yang pinter abis. Cantik juga, pula! Haduh, gawat,curhatnya pada Salwa dan Husni.
    “Hehehe... aku jadi inget sesuatu. Tadi pas rapat, aku kan belum absen. Kan aku nulis di papan tulis melulu. Akhirnya, Nafo nulisin namaku. Padahal aku gak minta, lho!” cerita Salwa. Aulin memandangnya dengan pandangan yang mudah diartikan; mewek penuh iri.
    “Maaf, Lin. Tenang aja. Aku gak bakal suka sama cowok yang sama. Tau sendiri, kan, aku lagi suka sama *Piiiip, hehe.”
    “Piiiiip atau… uhuk uhuk, Ezha. Eh, keceplosan,” Husni usil.
    “Coba aku yang jadi sekretaris, ya,” Aulin menerawang.
    “Menurutku kamu emang cocok jadi sekretaris,” suara dari belakang. Sejak awal berbicara, Aulin sudah tahu kalau pemilik suara itu adalah Aufan. Bodohnya, seakan malu banget, ia tidak menoleh—hal wajar yang seharusnya dilakukan—karena malu dan deg-degan. Berbeda dengan Husni dan Salwa yang spontan menoleh. Baru setelah itu Aulin ikut menoleh. Meskipun tidak memandang persis pada wajah rupawan Aufan.
    “Ooo, gitu. Berarti kamu lebih milih Aulin, nih?” ucap Salwa.
    “Ya nggak gitu juga, Mbak Sek! Kalo yang sekarang ini udah pas. Aku ketuanya, kamu sekretarisnya,” balas Aufan. Salwa tersenyum. Aulin mewek lagi dalam hati. Ia jadi agak sebal dengan Salwa.
    “Lagian, kamu sendiri yang sering promosi kalau temenmu ini udah pengalaman jadi sekretaris,” lanjut Aufan. Aulin kaget mendengarnya. Dalam hati ia mengaku bersalah telah sebal pada Salwa. Aaa~ Salwa emang sahabat terbaikkuuu! Jeritnya dalam hati.
    “Oya, gimana acaranya?” Aufan menoleh pada Aulin yang agak menunduk. Karena malu, Aulin jadi tidak bisa bicara sepatah kata pun dan wajahnya tetap menunduk. Akhirnya Aufan yang berjongkok di depan Aulin.
    “Aulin, acaranya gimana? Udah sampe mana?” tanya Aufan pelan, sambil tersenyum. Senyum itu… Aulin berdebar. Hatinya berbunga-bunga. Karena tak juga menjawab, Aufan mengambil lembaran kertas dari tangan Aulin lalu membacanya. Setelah membaca, Aufan mengangguk-angguk sambil tetap tersenyum. Kamudian ia berdiri.
    “Kamu hebat. Aku salut sama kamu. Rancangan acaramu bisa dikatakan sempurna,” Aufan memberikan kembali kertas tadi pada Aulin sambil mengelus kepala Aulin.
    “Wooi!! Udah siap beluuum?” Husni menepuk agak keras bahu Aulin.
    “Aduh! Sakit, dudul!” Aulin mengaduh. Lamunannya buyar seketika. Lamunan? Ya, tidak ada kejadian Aufan menanyainya, apalagi mengelus kepalanya. Setelah Aufan berbicara dengan Salwa, ia langsung ke depan untuk melanjutkan agenda rapat.
    “Bagaimana, sie acara sudah siap?” Tanya Aufan. Aulin diam mencerna keadaan. Siap? Siap apa, sih? Batinnya.
    “Sie acara!” seru Aufan agak keras.
    “Ya!” Aulin mengangkat tangan kanannya. “Hadir…” pelannya. Seisi ruangan diam memperhatikan. Salwa menutup wajahnya. Duuh. Kumat lagi ni bocah.
    “Silahkan maju dan presentasikan pekerjaan kalian,” perintah si ketua. Aulin tergagap. Ia melirik Husni. Husni malah geleng-geleng.
    “Tugas kamu, tau. Yang presentasi kan cuma koor sie. Kamu, sih kebanyakan ngelamun!” Husni malah memarahinya. Ini memang salahnya senidiri. Jadi untuk waktu yang sangat singkat ini, ia memilih untuk mempresentasikan apa yang bisa ia presentasikan untuk saat ini. Ia maju ke depan, dengan membawa selembar kertas yang tadi ia gunakan untuk memperhitugkan acara dan waktu. Masih sama sekali belum ada susunan, bahkan daftar kegiatan dalam acara itu pun belum ia tentukan. Salwa tahu temannya itu sedang dalam masalah. Tetapi ia tidak dapat melakukan apa-apa. Ia hanya berharap, Aulin dapat menyelesaikan masalahnya itu dengan baik. Agar namanya tidak tercoreng di mata umum, terutama di mata Aufan.
    “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh,” Aulin mengucapkan salam. Serempak para panitia lain di sana menjawabnya. Aulin awalnya bingung dan gelisah. Namun itu hanya berlangsung beberapa detik. Karena di detik berikutnya, ia sudah tampak percaya diri dan menguasai keadaan. Kertas yang tadi ia bawa kembali ia lipat dan disimpan dalam saku.
    “Rekan-rekan panitia sekalian, saya Aulindya selaku kordinator acara. Dalam jangka waktu dua minggu setelah pembentukan panitia, kami telah mempunyai rancangan kegiatan untuk acara kita. Seperti pada umumnya, kami menetapkan rancangan kegiatan, seperti pembukaan, sambutan, kalam Ilahi, acara inti, tanya-jawab-doorprize dan penutup. Untuk pengisi acaranya ditentukan langsung oleh panitia inti. Dan untuk pembagian tugasnya akan disepakati bersama.
    Tetapi sebelumnya, saya ingin membuka kesempatan kepada teman-teman untuk menyumbangkan pikirannya kepada kami dalam urusan kegiatan ini. Apa di antara kalian ada yang ingin mengoreksi rancangan acara saya atau ada yang ingin menyumbang inovasi baru dalam kegiatan kita ini?” pandangan Aulin mengarah pada forum dengan senyum penuh percaya diri.
    Dalam hati ia bersyukur dapat berbicara selancar itu. Husni menghela nafas lega melihatnya. Begitu pula Salwa. Tau gak, Lin? Nafo gak berhenti ngeliatin kamu sambil senyum, lho! Seru Salwa senang dalam hati. Ya, Aufan memang memandangi Aulin dengan tersenyum, di sudut ruangan. Tanpa Aulin sadari.
    Beberapa anak menyumbangkan suara. Di sangga oleh yang lain, ditolak dan disetujui. Setelah semua sudah terasa pas, Aulin  mengundurkan diri dan duduk di samping Husni. Husni mengancungkan dua jempol pada Aulin. “Thanks,” kata Aulin senang. Rapat dilanjutkan. Sesekali Aulin mencuri pandang pada Aufan. Dan pada sebuah detik yang indah, mata Aulin bertemu dengan mata Aufan. Aulin seperti terpaku. Dan hari itu ia nobatkannya sebagai hari terindahnya.

    .xXXXx.

    Umurnya masih lima tahun saat itu. Di manado, rumahnya sangat dekat dengan pantai. Ia sangat senang bermain di sana. Karena orang tuanya sangat sibuk bekerja, ia lebih sering bermain sendiri. Kadang ia berjalan sendiri menuju pantai. Di sana, ia sering bertemu dengan anak sebayanya. Anak itu sangat baik, begitu pula orang tuanya. Mereka pun menjadi kawan dekat yang sangat akrab. Sampai setahun kemudian. Karena kecelakaan, ayah gadis kecil itu meninggal dunia. Meninggalkannya yang masih sangat butuh kasih saying seorang ayah. Selama ini ayahnya memang sibuk bekerja, tetapi setidaknya jika ia menangis meraung-raung ayahnya akan menuruti permohonan anaknya untuk bisa bermanja-manja dengannya. Namun kini, meski menangis tak berhenti selama berhari-hari, ayahnya tak akan datang lagi.
    “Ayaaah!” tiba-tiba Aulin terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajahnya yang telah basah tanpa ia sadari. Ia menarik nafas beberapa kali, beristighfar dan berdoa. Ia melirik jam. 02.30. ia berdiri, memutuskan untuk bertahajjud pada Yang Kuasa, yang telah membuatnya mengingat kejadian 9 tahun lalu.

    .xXXXx.

    Hari H kegiatan ROHIS  membuat sibuk para panitia. Bahkan Sie Humas dan Dana Usaha yang bekerja prakegiatan pun diminta membantu panitia lain. Sebagai koordinator divisi acara Aulin harus bekerja sebaik mungkin. Ia memberikan briefing pada panitia sebelum acara dimulai. Setelah acara dimulai, ia mengawasi dan mempersiapkan petugas tiap kegiatan. Husni ia tugasi untuk menjadi timer. Acara pun berjalan dengan baik. Peserta kegiatan tampak antusias saat sesi tanya jawab, meski saat materi mereka banyak yang ribut.
    Acara berakhir tepat pukul 03.00, sesuai dengan petunjuk teknis yang Aulin buat. Evaluasi acara, beberapa hal yang dinilai kurang benar diungkapkan di sini. Oleh panitia sendiri, oleh para demisioner maupun oleh alumni yang mengawasi. Terakhir, Kak Zein sebagai ketua ROHIS berkata,
    “Bagaimana pun, acara hari ini telah sukses dengan jerih payah kalian! Saya bangga! Tepuk tangan buat kalian!”
    Semua yang ada di sana bertepuk tangan dengan meriah. Sama-sama senang dengan hasil kerja keras mereka. Dan lega, akhirnya beban sebagai penyelenggara kegiatan telah selesai. Hal ini paling dirasakan oleh Aufan sebagai ketua pelaksana.
    “Teman-teman, saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya atas kerja sama kita dalam kepanitiaan kali ini. Saya sebagai ketua tidak akan berhasil jika tidak ada kerja sama yang baik dari panitia lainnya. Saya bersyukur menjadi ketua dengan kalian para anggotanya. Sekali lagi, terima kasih!” Aufan tersenyum. Aulin terpesona, ikut senyum-senyum sendiri.
    “Selain itu, di sini saya juga mau pamitan,” kata Aufan menggantung. Aulin langsung tersentak.
    “Setelah penerimaan rapor mid semester minggu depan, saya pindah sekolah. Orang tua di manado pengen saya tinggal di sana,” ucap Aufan dengan agak sedih.
    “Saya senang bisa kenal dengan kalian dan saya harap ini bukan pemutus tali persaudaraan kita. Ikatan pertemanan kita tak akan terbatas oleh jarak,” Aufan tersenyum lagi. Tetapi kali ini berbeda. Ini bukan khayalan Aulin. Aulin tahu ini nyata. Aufan tersenyum dengan tatapan sedih itu tepat pada Aulin. Aulin ingin menangis. Perlahan-lahan, ia mundur dan tanpa ada yang sadar ia keluar dan menuju masjid, lantai atas.
    Ia sendiri di sana. Ia tak ingin menangis dan ia memang tidak menangis. Tetapi matanya sendu menunduk dengan tangan memeluk kedua lututnya. Pulang ke manado? Ternyata dia orang manado ya. Bagian mana ya? Jauh gak ya dari rumah Ayah? Dari pantai… Aulin menerawang.
    “Lin…” ternyata Salwa dan Husni menyusulnya.
    “Namanya juga takdir, Lin,” sahut Husni.
    “Nah, kamu jadi bebas, kan? Kamu jadi gak usah jadi pungguk merindukan bulan lagi, kan?” Salwa berusah menghibur.
    “Tapi boleh gak aku nanya, kenapa harus Aufan? Kenapa harus pindah? Kenapa harus ke manado?”
    “Boleh aja kamu nanya. Husni tadi udah nyebutin jawabannya. Takdir,” Salwa merangkul Aulin.

    .xXXXx.

    Kerang Pantai (1)

  • Rabu, 22 Agustus 2012
  • Malika Nur Azkiyah
  • Label:

  • Hari masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah bagi anak-anak pada umumnya. Namun Aulin berbeda. Rumahnya tidak lagi dekat dari sekolah. Ia tak lagi tinggal dengan budenya yang tempat tinggalnya tak jauh dari kota tempat ia sekolah. Dan ini hari pertamanya. Ia harus selalu berangkat jam setengah 6 jika ingin tidak terlambat sampai di sekolah. Itu perkiraannya. Sebab mulai kelas XI semester dua ini ia kembali tinggal dengan ibunya yang telah kembali dari Manado. Ya, hanya ibunya, sebab ayahnya telah tiada sejak umurnya masih enam tahun.

    Puisi~Dinding Kertas yang Robek

  • Kamis, 02 Agustus 2012
  • Malika Nur Azkiyah
  • Label:

  • Setetes demi setetes membuat sebuah aliran yang kian lama kian deras
    Hatiku menangis
    Sedih rasanya
    Aku ingin protes dan berteriak
    Melarang, memaksa bahkan memohon
    Tapi aku hanya seorang yang tak berdaya, tak kuasa
    Sebuah dinding kuyuh dan rapuh
    Terbuat dari selapis kertas
    Telah robek
    Tak peduli tuannya
    Hanya rinai kata terangkai syahdu dalam diam di hati yang mendalam

    My Beloved Family

  • Minggu, 22 Juli 2012
  • Malika Nur Azkiyah
  • Setahun berlalu setelah wisuda kakak pertamaku, Adelia O.P. Kalau diingat-ingat, saat-saat ini merupakan tepat satu tahun hijriah setelah peristiwa membahagiakan itu terjadi. Orang tuaku datang ke Jogja bersama adik-adikku. Aku sangat senang. Pertengahan puasa, mereka datang. Aku ingat, hari itu aku berbuka bersama dengan anak-anak kelas XA, kelasku di tahun pertama sekolah di MAN 1 Yogyakarta tercinta =]

    Merantau ke Pulau Seberang

  • Sabtu, 21 Juli 2012
  • Malika Nur Azkiyah
  • Label:

  • Aku anak perempuan berusia 15 tahun ketika itu. Aku baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertamaku. Karena banyak alasan, aku bertekad untuk sekolah di luar pulau. Aku ingin bersekolah sambil menuntut ilmu agama di pesantren. Aku memilih sebuah pesantren di Jawa Timur. Tetapi orang tuaku tidak mengizinkan. Saat itu aku punya sangat banyak alasan pendukung, untuk diriku dan orang tuaku. Hampir semua alasan itu adalah buah pikiran keegoisanku. Yang ketika kukenang kini, aku bahkan heran, mengapa aku bisa mengatakan itu alasan.
    Sedikit cerita, dulu aku sangat sering dimarahi—atau lebih tepatnya diceramahi—oleh ibuku. Aku saat itu adalah anak yang sama sekali belum dewasa pikirannya. Ibuku memarahiku dengan menyerang perasaanku. Tiap perkataannya masuk ke hatiku untuk kutentang. Hampir semua ucapannya kunilai salah dan bohong. Berlembar-lembar kertas kujadikan pelampiasan melalui goresan tinta di atasnya. Tak jarang kutulis seberapa besar kebencianku dan kebenciannya kepadaku. Lebih dari itu, aku lebih sering menulis kata ‘mengapa’ untuk memulai kalimat-kalimat protesku.
    Ya, ‘mengapa’. “Mengapa Mama

    Sebuah Pepatah Latin

  • Jumat, 20 Juli 2012
  • Malika Nur Azkiyah
  • Label:
  • Multi-Multa; Nemo Omnia Novit
    Pertama kali aku tahu istilah ini dari sebuah game. Salah satu game yang aku suka. Namanya “Magic Enyclopedia”. Mungkin banyak diantara kalian yang udah tahu game itu. Berarti udah banyak juga dong yang tau istilah di atas. Waktu itu aku bareng kakakku. Buat menyelesaikan game itu, dibagian akhir harus bisa menyusun kata-kata di atas yang udah di acak-acak. Karena benar-benar tidak tau, aku dan kakakku nyari di google, dan akhirnya ketemu. Setelah game selesai, kita beralih nyari makna kalimat berbahasa latin itu. Dan ternyata, artinya bagus banget.
    (c) Copyright 2010 Azkiyah Wish. Blogger template by Bloggermint