Besok
pembagian rapor mid semester. Berarti besok hari terakhir Aulin bisa satu
sekolah dengan Aufan. Dan hingga kini ia belum ada kemajuan. Tentang tatapan
saat evaluasi kemarin, ia masih tak yakin itu berarti. Ia mulai memikirkan
bahwa memang ia tidak ditakdirkan dekat dengan Aufan. Tidak dekat. Hmm… ini artinya Allah masih sayang sama aku, kan? Dekat
sama cowok yang gak mahram kan bawaannya dosa. Akhirnya pemikiran itu yang
selalu Aulin dengungkan agar hatinya bisa ringan.
“Kamu serius
gak mau ngomong sama Nafo buat yang terakhir, Lin?” tanya Husni.
“Heh, ini
belum tentu terakhir kali, Ni! Kan kalo jodoh, mesti bakal ketemu lagi! Hehe,”
balas Aulin. Mereka tertawa.
“Masih bisa
kayak gitu, ya, kamu! Aku aja eman-eman
cowok ganteng sekolah kita hilang satu,” kata Salwa.
“Kalo ngomong,
aku harus ngomong apa?” Aulin mulai goyah.
“Kalo mau
ekstrim sih, kamu bilang aja tentang perasaanmu. Tapi aku yakin kamu gak bakal
lakuin itu,” Salwa menggantung ucapannya. “Kamu bicara saja sama dia. Bilang,
kalo yang kemarin nemuin kartu pelajar dia itu kamu. Atau apa, kek, terserah.
Hahaha.”
“Eh, eh, ke
situ yok! Tuh si Nafo udah di sana sama temen-temen!” husni menarik kedua
sahabatnya.
“Eh? Tunggu!”
aulin tiba-tiba takut dan deg-degan. Ia agak meronta, tetapi karena malu, ia
jadi diam saja ditarik oleh husni menuju depan asana ROHIS. Di sana sudah ada
Ezha, Aufan dan anak-anak lain. Juga ada Fanni dan Nilam. Dua gadis yang Salwa
bilang menyukai Aufan. Mereka tampak memberikan bungkusan kepada aufan.
Sepertinya kenang-kenangan. Husni dan salwa bergabung dengan mereka, sedangkan
aulin bersembunyi ke dalam asana. Setelah beberapa lama, satu per satu mereka
bubar. Kini tinggal husni, salwa, Ezha dan aufan yang tersisa. Mereka masuk ke
dalam asana. Aulin kaget. Ia mengambil buku tulis dan pulpen yang ada di
dekatnya dan menulisinya. Sok sibuk dengan apa yang dilakukannya, ia pura-pura
tidak peduli dengan teman-temannya yang masuk.
“Lin, kamu
ngapain, sih?” tanya husni. Ia mendekati sahabatnya itu. Aulin tersenyum
menggeleng.
“Maaf,
bukunya,” aufan mengulurkan tangan pada aulin. Awalnya aulin bingung. Tetapi
begitu melihat nama pemilik buku yang ia bawa, ia jadi malu sendiri. Yang ia
coret-coret tadi adalah buku aufan.
“Aduh, maaf
maaf! Ini, maaf, aku minta satu lembar, ya!” ia merobek lembar yang tadi ia
coreti. Gilaaa! Aku malu-maluin banget,
sih >,<
Salwa dan
husni tertawa kecil melihatnya.
“Halah, gak
apa-apa. Nyante aja,” aufan tersenyum. Baik
banget, sih, kamu, Fan!
“Aufan udah
mau pindah, ya? Moga di sana bisa tetap jadi yang terbaik,” pelan aulin pada
aufan. Aufan tersenyum mengangguk.
“Makasih, ya,
Aulin,” kata aufan. Aulin agak terkejut ketika namanya disebut oleh aufan. Mungkin karena aku koordinator sie acara.
Masa’ ketua gak tau nama koor sie acaranya sendiri. Batin aulin. Dulu,
ketika dalam kepanitiaan, aufan tidak pernah memanggil namanya. Jika ia harus
memanggil aulin, ia akan menyebutnya, ‘Koor
Sie Acara’.
“Aulin, aku
mau bilang,” tiba-tiba aufan duduk tepat di depan aulin. Aulin gelagapan. Ada apa, nih?
“Aku mau bilang
makasih. Kamu baik sekali. Sejak kecil sampai sekarang. Mungkin kamu gak ingat
aku,” kalimat menggantung aufan membuat aulin penasaran. Ia masih tidak
mengerti apa yang diucapkan aufan. Aufan kemudian mengeluarkan sesuatu dari
kantung bajunya. Sebuah kulit kerang
kecil lucu berwarna cokelat muda. Ia menunjukkannya pada aulin. Aulin
terkejut begitu melihat namanya tertera pada bagian dalam kulit kerang itu.
Tulisan dengan spidol permanen berwarna hitam. Tulisannya jelek, khas anak
kecil, tetapi aulin bisa membaca namanya di sana.
Nama kecilnya; Olin. Hanya satu orang yang tahu. Teman kecilnya di manado.
Teman kecil yang juga memberikannya kerang yang sama.
“Aku... punya kerang kayak gini juga,”
pelan aulin sambil terus mengamati kerang itu. Ia mengingat kembali kenangannya
ketika ia dan ibunya akan pindah dari Manado. Aulin bertukar kerang itu dengan
satu-satunya sahabatnya. Sahabat yang selalu menemaninya di pantai. Ia bahkan
ingat kata-kata sahabatnya itu saat memberi kerang pantai itu. ‘Supaya kamu bisa selalu ingat pantai di sini.
Juga, supaya setiap kamu ingat pantai waktu lihat kerang ini, kamu juga bisa
ingat aku.’ Tetapi nama anak itu bukan aufan.
“Kerang punyaku dari sahabatku.
Namanya... Obet,” aulin memandang aufan. Obet anak kecil kurus dengan kulit
coklat terbakar. Berbeda dengan aufan.
“It’s me,” singkat aufan. Aulin
mengerutkan kening. Rasanya tidak mungkin.
“Obet? Kamu obet? Masa’ sih?” aulin
ingin tertawa, kalau saja salwa dan husni tidak menyikutnya.
“Lin, gak mungkin aufan bohong tentang
ini. Kamu aja gak pernah ceritain tentang obet ke aku atau pun husni. Aufan gak
mungkin bisa tau, kalau bukan dia sendiri yang namanya obet!” salwa menceramahi
aulin.
“Tapi obet...” aulin diam. Tak mampu
melanjutkan kata-katanya.
“Nasrani. Ya, Aulin. Robertus atau
Obet emang nasrani. Tapi setahun setelah sahabatnya pindah, ia memilih untuk
ikut pada agama ayahnya, Islam. Dan sejak itu nama obet jadi Aufan. Aufan
Al-Azhar,” jelas aufan.
“Subhanallah,” gumam ezha, salwa,
husni dan aulin.
“Jadi sekarang kamu mau balik ke
manado buat tinggal di sana? Kenapa?” aulin kembali merasa sedih. Ia senang
bisa bertemu dengan teman kecilnya yang telah lama ia rindukan. Ia pernah
mencari tahu tentang obet lewat internet. Tetapi hasilnya sia-sia. Lagi pula ia
tidak tahu bagaimana rupa obet setelah sekian lama tak bertemu. Dan kini obet
ada di depannya. Tetapi besok ia akan pergi. Pisah lagi? Setelah lama gak ketemu? Kenapa kamu jahat banget, sih,
Bet. Kenapa gak ngomong dari dulu kalo kamu itu obet? Keluh aulin. Ia
bahkan lupa pada perasaan sukanya. Sekarang ia benar-benar menatap aufan
sebagai obet, sahabat kecilnya.
“Ibuku, Lin. Aku sejak SMP sudah
sekolah di Jogja. Dan aku tidak akan kembali sebelum ibuku masuk Islam. Dan
sekarang ibuku memenuhinya. Ibuku sekarang sudah muslim. Aku juga harus penuhi
janjiku.”
“Alhamdulillah,” kata aulin sambil
tersenyum. Air matanya menetes. Perasaannya bercampur aduk antara bahagia atas
ibu aufan yang mendapat hidayah dan sedih karena aufan akan segera berpisah
dengannya. Di hari terakhir aufan itu, aulin hanya bisa menangis tanpa suara.
Tangannya menutupi wajahnya. Ia ingin berhenti tetapi tak bisa. Husni dan salwa
selalu ada di sisinya untuk menenangkan. Aulin terus menangis. Aufan hanya bisa
memandang dengan iba. Bahkan ezha juga ikut menitikkan air mata, meski
disembunyikan.
“Semoga... di sana... kamu bisa jadi
lebih baik lagi. Aku harap... kita bisa ketemu lagi,” kata aulin di sela-sela
tangisnya. Lalu ia meninggalkan asana, diikuti husni dan salwa.
.oOOOo.
Aulin tidak berangkat sekolah di hari
perginya aufan. Kepada ibunya, ia bilang sedang sakit. Dan memang begitulah
adanya. Ia sedih. Matanya bengkak dan merah. Membuatnya jika ditanya sakit apa,
ia bisa bilang sakit mata. Ia tidak mengangkat telepon dari sahabat-sahabatnya.
Ia terus di kamar. Keluar saat ibunya menyuruhnya makan dan saat waktu sholat
tiba. Itu saja. Sisanya ia gunakan untuk tidur dan menghibur diri dengan
menatap langit dari jendela kamarnya.
Ketika sore tiba, ezha datang bersama
husni dan salwa. Aulin menemuinya di beranda rumah. Matanya yang agak sembab
tak membuat ezha dan dua sahabat aulin terkejut.
“Heh, cengeng, jangan nangis terus
dong!” kata salwa. Aulin tambah cemberut.
“Aku udah gak nangis, tuh,” balasnya.
Mereka tersenyum. Ezha sendiri sebetulnya juga sedih, berpisah dengan
sahabatnya di ma’had sekolahnya itu.
“Aku juga sedih, aufan pindah. Tapi,
toh, jarak bukan halangan untuk tetap bersahabat. Malah aku ada alasan dan
motivasi buat bisa ke manado,” hibur ezha. Aulin ikut tersenyum. Dua sahabatnya
merangkul di kedua sisi.
“Nih, dari aufan. Mmm... atau bagimu,
Obet.” Ezha menyerahkan sesuatu pada aulin. Kotak kecil berbungkus kertas kado
yang manis. Aulin menerimanya. Ia tak langsung membukanya. Tiga temannya tidak
memaksanya, meskipun mereka sangat penasaran dengan isi kotak itu.
Cincinkah? Batin husni.
Mungkin surat. Pikir ezha.
Jangan-jangan, isinya bom? Bom cinta. Hehehe.
Salwa cekikikan sendiri. Aulin, husni dan ezha langsung menatap salwa dengan heran. Salwa kaget.
“Kenapa?” tanyanya sok polos.
“Mukamu... ada sesuatu di mukamu,”
kata husni. Ganti salwa yang heran.
“Apa?” tanyanya sambil mengelus-elus
wajahnya.
“Ada muka badutnya!” kata aulin sambil
mencubit pipi salwa. Mereka lalu tertawa bersama.
“Makasih, ya. Kalian udah hibur aku.
Aku baik-baik aja kok,” kata aulin.
“Sama-sama,” jawab mereka serempak.
Maghrib mulai menyapa. Sebentar lagi
para muadzin akan menyerukan panggilan kapada para muslimin untuk bersujud
pada-Nya. Ezha, husni dan salwa pamit. Begitu mereka pulang, aulin siap-siap
sholah berjama’ah di masjid. Sepulang dari masjid, ia segera menuju kamarnya.
Ia membuka kotak yang aufan titipkan pada ezha untuknya. Degan hati berdebar,
ia ambil sesuatu yang ada dalam kotak itu. Sebuah gantungan kunci lucu
berbentuk huruf yang merangkai namanya dan nama aufan di masa kecil mereka;
Olin dan Obet. Satu huruf O besar untuk dua nama itu. Indah sekali.
Di dalam kotak ternyata masih ada satu
lagi kertas kecil. Aulin memngambilnya dan melihat apa yang tertulis di situ.
Sebuah gambar monitor dan kaca pembesar. Ada juga keyword bertuliskan
‘olinobet’. Aulin tersenyum. Ia menuju komputer. Membuka sebuah search engine
dan mencari dengan kata kunci ‘olinobet’. Setelah beberapa kali mencoba, ia
menemukan sebuah blog. Setelah melihat profilnya, ia yakin pemiliknya adalah
obet atau aufan meskipun ia tidak menuliskan dengan jelas data dirinya. Di
dalamya ada foto-foto pantai di dekat rumahnya dulu. Beberapa tulisan
membuatnya kaget.
“Aku suka nama baruku. ‘AUFAN’. Nama yang tak jauh berbeda dengan
namanya.”
“SMP, aku memutuskan ke Yogyakarta, kota tempat dia berada
sekarang.”
“SMA, akhirnya aku bisa satu sekolah dengan dirimu! Tapi bagaimana
caranya aku menyapamu? Aku malu.”
“Hahaha,” aulin tertawa. Tidak
menyangka. Ia baru tahu aufan punya sisi seperti ini. Aulin lanjut membaca.
”Sore tadi aku terpaksa keluar di hari hujan karena butuh sesuatu.
Tetapi, ini adalah hari yang indah. Ketika aku sudah hampir sampai gerbang,
tiba-tiba sebuah payung di lempar ke arahku. Sepertinya dari balik tembok. Tapi
tidak ada siapa-siapa di sana. Dan tahukah kau? Di payung itu ada nama
pemiliknya. Hatiku berdebar saat mebacanya. Aku berharap yang melempar payung
itu adalah dia. Kutaruh payung itu di bawah pohon. Agar dia ambil dan gunakan.
Aku tidak mau dia masuk angin karena kehujanan.”
Aulin menahan nafas. Ia jadi malu
sendiri. Setelah ia ingat-ingat memang payung itu ada gantungan namanya, hadiah
dari toko tempatnya membeli payung.
“Dia gadis yang baik. Persis seperti yang dulu. Semoga aku yang
seperti ini bisa membuatnya jatuh hati. Semoga dengan gelarku sebagai ketua
osis dan fisikku ini bisa membuatnya menyukaiku.”
“Aku salah. Dia tidak seperti gadis kebanyakan yang mengejar
gelar, tampang atau harta. Dia gadis sholihah. Astaghfirullah. Berapa tahun
sudah aku di jalan yang benar ini, kenapa belum bisa memahami ini? Maafkan aku.
Aku akan jadi hamba yang baik.”
“Sudah kubilang dia gadis yang baik. Kartuku yang sengaja
kujatuhkan betul-betul ia ambil dan kembalikan. Dia menulis begini,” sebuah
hasil scan kertas dengan tulisan tangan aulin terpajang di sana. “Aku akan terus menyimpan ini.”
Aulin tersenyum. Tetapi air matanya
memaksa keluar. Ia terus membaca hingga tulisan terakhir yang berbunyi,
“Dia gadis yang baik. Juga gadis yang cerdas. Aku sayang padanya.
Aku akan menunggunya. Tepatnya aku akan mempersiapkan diriku untuk bisa
bersamanya dengan halal.”
Aulin menangis haru. Tak henti ia
bersyukur pada Allah azza wa jalla.
Lantunan adzan isya’ mengalun sangat indah di telinga aulin. Segera ia bersiap
untuk bersujud kepada Yang Maha Kuasa.