Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Sore, Makassar dan Harapan

  • Minggu, 10 Juni 2012
  • Malika Nur Azkiyah
  • Label:
  • “Ma, aku tuh paling suka suasana sore hari. Apa lagi kalau sama keluarga kayak gini,” ceritaku pada Mama.
    “Memangnya ada apa dengan sore hari?” tanya Mama dengan lembut.
    “Nggak tau, Ma. Pokoknya ada sensasi tersendirinya!” senyumku melebar.
    “Kakak Nanaaa!” panggil Dafa dan Afif, adik-adikku yang masih TK. Sambil tersenyum-senyum nakal, Dafa berkata,
    “Katanya mau ajak jalan-jalan ke mesjid depan?”
    “Iya! Ayo, Kak Nana! Ayoo!” Afif menarik-narik tanganku sampai aku terjatuh.
    Aku terbangun. Ternyata hanya mimpi. Aku melirik sekelilingku. Di dalam asana hanya ada Puput yang sedang membersihkan kertas-kertas. Aku baru ingat kalau aku tertidur saat membantu puput menggunting kertas untuk hiasan mading.
    “Waah, udah selesai baru bangun. Piye iki?” katanya sambil tersenyum.
    “Hehehe, afwan yaa. Aku ketiduran. Udah jadi belum?” tanyaku. Puput melirik ke arah kanan. Aku menengok dan...
    “Waw! Apik tenan, Put! Gak sia-sia aku ngajarin kamu,” kataku. Puput mencubit pipiku dengan gemas.
    “Iiuuh! Kamu tuh, ya!”
    “Adududuuh!” aku mengaduh.
    “Aku mau pulang, nih!” katanya sambil mengambil tasnya.
    “Aku juga, deh!” aku menyusul.
    Kami pulang dengan jalur masing-masing. Aku ke arah Sleman dan puput ke arah Bantul. Puput pulang dengan motornya sedangkan aku naik bis. Aku berjalan ke pemberhentian bis terdekat.
    Ini lah hari-hariku di sini, Kota Jogja. Tak ada lagi naik pete-pete (sebutan untuk angkutan kota di Makassar), tak ada Daeng Becak, tak ada bahasa penuh imbuhan mi, pi, ji, mo, ko, dan sebagainya. Tak ada lagi pamit ke sekolah pada Mama Papa, tak ada lagi ajak main Dafa Afif ke mesjid depan, tak ada lagi rumah yang luas. Tak ada.
    Tetapi bukan aku tidak menerima kenyataan. Bukan aku menyesal dan ingin semua tidak terjadi. Aku senang. Aku bangga. Dan aku punya tujuan mengapa aku ada di sini. Aku hanyalah seorang anak tak berdaya, tak berduit tepatnya, untuk membahagiakan orang tua dan keluarga yang kusayangi. Aku datang ke sini untuk menggapai bintang dan menyerahkan sinarnya pada kedua orang tuaku tercinta.
    Tindak pundi, Mbak?” seorang lelaki tua menyapaku. Aku menoleh. Rupanya bapak tukang tambal ban. Aku tersenyum.
    “Pogung, Pak,” jawabku.
    “Oooh, yang jalur 12 atau 15 itu, ya, Mbak?” tanyanya lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum. Sedetik setelah itu aku melihat sebuah bis berwarna biru dari kejauhan. Aku sudah bisa menebak bahwa tu adalah bis dengan jalur 15! Aku berpamitan dengan sang ‘Bapak Tambal Ban’.
    “Monggo, monggo, Mbak,” ucapnya ramah.
    Aku melambaikan tangan dan bis berhenti tepat di depanku. Aku naik dan mengambil kursi dekat jendela. Aku menghadap keluar dan menatap langit sore yang berhias mega jingga. Dari jendela aku bisa melihat lalu lalang kendaraan melewati bisku yang berjalan agak lambat.
    Aku menerawang lagi tentang kota dimana aku melewati masa kecilku, Makassar. Kota ‘Anging Mamiri’. Kota dimana sahabat-sahabatku sejak kecil berada. Cinta monyetku yang benar-benar bersemi dalam keluguan kami sebagai anak berumur delapan tahun. Semua ada di sana. Menjadi siswa teladan di sekolah atau anak pembangkang yang sering membuat Mama naik darah. Aku merasakan berbagai perasaan di sana.
    Seorang penumpang masuk dan duduk di sebelahku. Aku melihat keluar dan ternyata aku sudah sampai di perempatan Jalan Kaliurang. Bis berhenti karena lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Sebentar lagi aku turun. Aku memandang ke atas. Aduuuuh, langitnya sangat indah. Putih dengan corak jingga yang membuat langit itu sangat menakjubkan dipandang secara keseluruhan. Aku selalu bersyukur bisa melihat langit sore yang indah seperti ini. dan hatiku sering sekali bertanya, ‘Apa di sana Mama dan Papa juga bisa melihat keagungan Allah ini?’
    Aku melirik ke depan. Jejeran motor dan mobil cukup panjang. Dari sini sangat pas untuk memandangi langit dan aku tak ingin bis ini berjalan dulu. Lampu ‘Bangjo’ berganti warna menjadi hijau. Padahal aku ingin melihat langit lebih lama lagi! Bis berjalan pelan dan begitu sampai di depan Bangjo, lampu berganti kuning.
    Ayolah, bis! Berhenti saja dulu! Pintaku dalam hati. Lampu bangjo kembali berubah warna menjadi merah. Dan aku pun merasakan rem yang ditekan Pak Supir. Asyiiiik! Alhamdulillah. Aku kembali mengamati langit dan membayangkan lagi Makassarku. Di sana, aku dan sahabatku selalu mempunyai waktu bersama. Meskipun saat terakhir aku di sana, mereka sudah masuk SMA dan akulah satu-satunya dari kami yang masih SMP, kami selalu ada waktu bertemu dan berbincang. Masalah demi masalah kami selesaikan bersama. Masalah satu diantara kita adalah masalah yang lain juga. Untuk itu, kewajiban kita semua juga untuk mencari jalan keluarnya.
    Di Makassar, beberapa gorengan mempunyai namanya sendiri dan berbeda dengan di daerah lain di Jawa. Makanan ringan yang biasa disebut ‘Pastel’ di Jawa, di Makassar akan disebut ‘Jalangkote’. Sebetulnya bentuk, struktur dan rasanya hampir sama. Hanya saja bagian kulitnya lebih keras dari pada pastel. Selain itu ada ‘Bikandoang’ yang oleh orang umum dikenal sebagai ‘Bakwan’. Kami sering membuat acara kecil-kecilan. Semata-mata mencari kebersamaan dan disatukan dengan membuat bikandoang bersama-sama. Sebanyak apapun bikandoang yang jadi, karena makannya bersama-sama, apalagi dengan sambal buatan sendiri, membuat makanan tersebut cepat sekali habisnya. Kadang kami sampai berebutan malah. Makanan di makassar memang tak pernah tanpa sambal. Dai lauk hingga camilan.
    Aku yang notabene bukan asli makassar sangat suka sambal khas makassar itu, dengan syarat tidak pedas. Aku sangat suka sambal yang gurih—atau bahkan cenderung asin. Karena jarang ada yang memuat seperti itu, maka aku belajar membuatnya sendiri. sangat menyenangkan ketika sesuatu yang kita sukai bisa kita dapatkan dari tangan kita sendiri. tak perlu tergantung dengan orang lain. Dan yang paling membuatku senang, Mama menyukai sambal buatanku itu. Aku senang sekali.
    Bruuuuum... bis yang kutumpangi berjalan. Melewati perempatan kaliurang. Melewati fakultas kehutanan UGM. Dan akhirnya melewati fakultas biologi UGM. Aku berdiri, bersiap turun. Di pokok—begitu orang-orang setempat menyebut tikungan jalan—aku berseru, “Kiri!” pada pak sopir. Setelah menyerahkan selembar uang dengan sosok Kapitan Pattimura di satu sisinya, aku melangkah turun dengan kaki kiri terlebih dahulu. Biasanya kalau di bis ada kondektur, ia akan selalu memperingati penumpang yang akan turun untuk menurunkan kaki kirinya terlebih dahulu. Ketika seorang penumpang minta diturunkan, bis tidak akan benar-benar berhenti. Kondektur menyuruh penumpang yang akan turun menggunakan kaki kiri. Karena pintu bis ada di sisi sebelah kiri. Dan saat kaki kiri berpijak di tanah, bis yang tetap bergerak maju itu akan membuat tubuh kita oleng ke kanan. Dan secara otomatis, kaki kanan akan berpijak ke tanah untuk menjaga keseimbangan, sehingga kita tidak akan jatuh. Berbeda dengan jika kaki kanan duluan yang turun. Maka kaki kiri yang akan menjaga keseimbangan. Dan itu sangat sulit karena posisi kaki kiri tidak sesuai. Untuk lebih jelasnya, silahkan coba sendiri.
    Aku menyusuri trotoar menuju kos. Sinar matahari belum meredup. Dengan sinarnya yang mulai menjingga, ia menyapaku. Aku jalan agak menunduk agar mataku tidak silau. Aku ingat lagi kenanganku di pulau seberang. Di sana tak seperti di Jogja, yang sangat banyak pedangang menjajakan gorengan. Di sana jika ingan membeli gorengan harus menunggu penjualnya lewat, biasanya sore hari. Atau mungkin bisa mencari gorengan dengan sepeda motor ke toko yang menjual gorengan. Dan tentu jaraknya cukup jauh dari rumah. Maka jika tidak sedang puasa, aku yang paling suka gorengan sering membuat sendiri di rumah. Dengan bahan seadanya. Dan itu sangat menguntungkan. Aku senang membuatnya, keluarga senang menikmatinya.
    Sedikit hiburan bagiku, ketika gorengan yang kubikin cukup banyak, Mama sering menyuruhku memberi sebagian pada ustadz di masjid. Meski hanya memberikan gorengan, aku sangat senang bisa melakukannya. Karena aku tak seperti adikku, Icha, yang bisa santai dan tenang berinteraksi dengan lelaki. Aku terlalu kaku dan tidak pandai bicara pada lawan jenis. Dan karena itu, aku sering meminta bantuan pada adikku itu untuk urusan yang satu ini.
    Di keluargaku memang sifat supel terbagi-bagi. Pada intinya kami semua supel. Hanya saja, kakak perempuanku, Kak Ade dan adikku, Icha, tampak lebih bisa bergaul dengan laki-laki. Mereka juga bisa bergaul dengan perempuan, tetapi menurutku mereka kadang lebih nyaman bergaul dengan lelaki. Aku kadang bisa memahami hal itu karena kebanyakan sifat perempuan suka menggosip, cerewet dan ribet. Dan aku pun tidak begitu menyukainya. Ya, aku tidak suka sifat menggosip atau ghibah. Tapi aku bisa toleran kepada pelakunya. Silahkan saja mereka bercerita tentang orang lain kepadaku. Yang jelas aku tidak pernah mengiyakan perkataan itu jika belum ada bukti, apa lagi menyebarkannya. Jika  perkataan yang dilontarkan keterlaluan, aku sebisa mungkin menegur dan memperingatinya. Apalagi jika yang berbuat seperti itu adalah akhwat. Sangat tidak pantas. Hanya itu yang bisa kulakukan.
    Mungkin bagi kedua saudaraku itu lebih baik tidak mendekati sama sekali hal-hal—dan pelakunya—seperti itu dari pada harus ikut melakukan perbuatan itu. Aku tidak menyalahkannya. Setiap orang punya cara masing-masing untuk menjadi lebih baik. Karena baik aku, atau pun saudara-saudariku tidak ada yang sudah sempurna. Tidak ada. Apalagi aku.
    Begitu pula adikku yang satunya, Ola. Secara sifat, ia mirip denganku. Hanya kadang kurasa, ia lebih baik. Lebih disayang, tepatnya. Banyak hal yang telah terjadi. Kejadian baik maupun buruk. Dan aku rasa, sebaiknya kita menyebut ‘masa lalu’ hanya untuk kenangan-kenangan kejadian yang indah saja. Dengan begitu, pandangan ke depan akan lebih baik. Adapun kejadian buruk yang pernah kita alami, cukup dijadika pelajaran, tanpa harus dijadikan kenangan. Dan karena aku lebih suka kenangan indah, aku akan mempersiapkannya sejak sekarang. Akan kubuat kejadian dan hal-hal baik, agar bisa menjadi masa laluku di masa yang akan datang nanti. Kau dan aku. Di mulai dari sekarang.

    0 komentar:

    Posting Komentar

    (c) Copyright 2010 Azkiyah Wish. Blogger template by Bloggermint