“Ma, aku tuh paling suka
suasana sore hari. Apa lagi kalau sama keluarga kayak gini,” ceritaku pada
Mama.
“Memangnya ada apa dengan
sore hari?” tanya Mama dengan lembut.
“Nggak tau, Ma. Pokoknya ada
sensasi tersendirinya!” senyumku melebar.
“Kakak Nanaaa!” panggil Dafa
dan Afif, adik-adikku yang masih TK. Sambil tersenyum-senyum nakal, Dafa
berkata,
“Katanya mau ajak
jalan-jalan ke mesjid depan?”
“Iya! Ayo, Kak Nana! Ayoo!”
Afif menarik-narik tanganku sampai aku terjatuh.
Aku terbangun. Ternyata hanya
mimpi. Aku melirik sekelilingku. Di dalam asana hanya ada Puput yang sedang
membersihkan kertas-kertas. Aku baru ingat kalau aku tertidur saat membantu
puput menggunting kertas untuk hiasan mading.
“Waah, udah selesai baru
bangun. Piye iki?” katanya sambil tersenyum.
“Hehehe, afwan yaa. Aku
ketiduran. Udah jadi belum?” tanyaku. Puput melirik ke arah kanan. Aku menengok
dan...
“Waw! Apik tenan, Put! Gak
sia-sia aku ngajarin kamu,” kataku. Puput mencubit pipiku dengan gemas.
“Iiuuh! Kamu tuh, ya!”
“Adududuuh!” aku mengaduh.
“Aku mau pulang, nih!”
katanya sambil mengambil tasnya.
“Aku juga, deh!” aku
menyusul.
Kami pulang dengan jalur
masing-masing. Aku ke arah Sleman dan puput ke arah Bantul. Puput pulang dengan
motornya sedangkan aku naik bis. Aku berjalan ke pemberhentian bis terdekat.
Ini lah hari-hariku di sini,
Kota Jogja. Tak ada lagi naik pete-pete (sebutan untuk angkutan kota di
Makassar), tak ada Daeng Becak, tak
ada bahasa penuh imbuhan mi, pi, ji, mo,
ko, dan sebagainya. Tak ada lagi pamit ke sekolah pada Mama Papa, tak ada
lagi ajak main Dafa Afif ke mesjid depan, tak ada lagi rumah yang luas. Tak
ada.
Tetapi bukan aku tidak
menerima kenyataan. Bukan aku menyesal dan ingin semua tidak terjadi. Aku
senang. Aku bangga. Dan aku punya tujuan mengapa aku ada di sini. Aku hanyalah
seorang anak tak berdaya, tak berduit
tepatnya, untuk membahagiakan orang tua dan keluarga yang kusayangi. Aku datang
ke sini untuk menggapai bintang dan menyerahkan sinarnya pada kedua orang tuaku
tercinta.
“Tindak pundi, Mbak?” seorang lelaki tua menyapaku. Aku menoleh.
Rupanya bapak tukang tambal ban. Aku tersenyum.
“Pogung, Pak,” jawabku.
“Oooh, yang jalur 12 atau 15
itu, ya, Mbak?” tanyanya lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum. Sedetik setelah
itu aku melihat sebuah bis berwarna biru dari kejauhan. Aku sudah bisa menebak
bahwa tu adalah bis dengan jalur 15! Aku berpamitan dengan sang ‘Bapak Tambal
Ban’.
“Monggo, monggo, Mbak,” ucapnya
ramah.
Aku melambaikan tangan dan
bis berhenti tepat di depanku. Aku naik dan mengambil kursi dekat jendela. Aku
menghadap keluar dan menatap langit sore yang berhias mega jingga. Dari jendela
aku bisa melihat lalu lalang kendaraan melewati bisku yang berjalan agak
lambat.
Aku menerawang lagi tentang
kota dimana aku melewati masa kecilku, Makassar. Kota ‘Anging Mamiri’. Kota
dimana sahabat-sahabatku sejak kecil berada. Cinta monyetku yang benar-benar
bersemi dalam keluguan kami sebagai anak berumur delapan tahun. Semua ada di
sana. Menjadi siswa teladan di sekolah atau anak pembangkang yang sering
membuat Mama naik darah. Aku merasakan berbagai perasaan di sana.
Seorang penumpang masuk dan
duduk di sebelahku. Aku melihat keluar dan ternyata aku sudah sampai di
perempatan Jalan Kaliurang. Bis berhenti karena lampu lalu lintas sedang
berwarna merah. Sebentar lagi aku turun. Aku memandang ke atas. Aduuuuh,
langitnya sangat indah. Putih dengan corak jingga yang membuat langit itu
sangat menakjubkan dipandang secara keseluruhan. Aku selalu bersyukur bisa
melihat langit sore yang indah seperti ini. dan hatiku sering sekali bertanya, ‘Apa di sana Mama dan Papa juga bisa melihat
keagungan Allah ini?’
Aku melirik ke depan.
Jejeran motor dan mobil cukup panjang. Dari sini sangat pas untuk memandangi
langit dan aku tak ingin bis ini berjalan dulu. Lampu ‘Bangjo’ berganti warna
menjadi hijau. Padahal aku ingin melihat langit lebih lama lagi! Bis berjalan
pelan dan begitu sampai di depan Bangjo, lampu berganti kuning.
Ayolah, bis! Berhenti saja dulu! Pintaku dalam hati. Lampu bangjo kembali berubah warna menjadi merah. Dan
aku pun merasakan rem yang ditekan Pak Supir. Asyiiiik! Alhamdulillah. Aku kembali mengamati langit dan
membayangkan lagi Makassarku. Di sana, aku dan sahabatku selalu mempunyai waktu
bersama. Meskipun saat terakhir aku di sana, mereka sudah masuk SMA dan akulah
satu-satunya dari kami yang masih SMP, kami selalu ada waktu bertemu dan
berbincang. Masalah demi masalah kami selesaikan bersama. Masalah satu diantara
kita adalah masalah yang lain juga. Untuk itu, kewajiban kita semua juga untuk
mencari jalan keluarnya.
Di Makassar, beberapa
gorengan mempunyai namanya sendiri dan berbeda dengan di daerah lain di Jawa. Makanan
ringan yang biasa disebut ‘Pastel’ di Jawa, di Makassar akan disebut
‘Jalangkote’. Sebetulnya bentuk, struktur dan rasanya hampir sama. Hanya saja
bagian kulitnya lebih keras dari pada pastel. Selain itu ada ‘Bikandoang’ yang
oleh orang umum dikenal sebagai ‘Bakwan’. Kami sering membuat acara
kecil-kecilan. Semata-mata mencari kebersamaan dan disatukan dengan membuat
bikandoang bersama-sama. Sebanyak apapun bikandoang yang jadi, karena makannya
bersama-sama, apalagi dengan sambal buatan sendiri, membuat makanan tersebut
cepat sekali habisnya. Kadang kami sampai berebutan malah. Makanan di makassar
memang tak pernah tanpa sambal. Dai lauk hingga camilan.
Aku yang notabene bukan asli
makassar sangat suka sambal khas makassar itu, dengan syarat tidak pedas. Aku
sangat suka sambal yang gurih—atau bahkan cenderung asin. Karena jarang ada
yang memuat seperti itu, maka aku belajar membuatnya sendiri. sangat
menyenangkan ketika sesuatu yang kita sukai bisa kita dapatkan dari tangan kita
sendiri. tak perlu tergantung dengan orang lain. Dan yang paling membuatku
senang, Mama menyukai sambal buatanku itu. Aku senang sekali.
Bruuuuum... bis yang
kutumpangi berjalan. Melewati perempatan kaliurang. Melewati fakultas kehutanan
UGM. Dan akhirnya melewati fakultas biologi UGM. Aku berdiri, bersiap turun. Di
pokok—begitu orang-orang setempat menyebut tikungan jalan—aku berseru, “Kiri!”
pada pak sopir. Setelah menyerahkan selembar uang dengan sosok Kapitan
Pattimura di satu sisinya, aku melangkah turun dengan kaki kiri terlebih
dahulu. Biasanya kalau di bis ada kondektur, ia akan selalu memperingati
penumpang yang akan turun untuk menurunkan kaki kirinya terlebih dahulu. Ketika
seorang penumpang minta diturunkan, bis tidak akan benar-benar berhenti. Kondektur
menyuruh penumpang yang akan turun menggunakan kaki kiri. Karena pintu bis ada
di sisi sebelah kiri. Dan saat kaki kiri berpijak di tanah, bis yang tetap
bergerak maju itu akan membuat tubuh kita oleng ke kanan. Dan secara otomatis,
kaki kanan akan berpijak ke tanah untuk menjaga keseimbangan, sehingga kita
tidak akan jatuh. Berbeda dengan jika kaki kanan duluan yang turun. Maka kaki
kiri yang akan menjaga keseimbangan. Dan itu sangat sulit karena posisi kaki
kiri tidak sesuai. Untuk lebih jelasnya, silahkan coba sendiri.
Aku menyusuri trotoar menuju
kos. Sinar matahari belum meredup. Dengan sinarnya yang mulai menjingga, ia
menyapaku. Aku jalan agak menunduk agar mataku tidak silau. Aku ingat lagi
kenanganku di pulau seberang. Di sana tak seperti di Jogja, yang sangat banyak pedangang
menjajakan gorengan. Di sana jika ingan membeli gorengan harus menunggu
penjualnya lewat, biasanya sore hari. Atau mungkin bisa mencari gorengan dengan
sepeda motor ke toko yang menjual gorengan. Dan tentu jaraknya cukup jauh dari
rumah. Maka jika tidak sedang puasa, aku yang paling suka gorengan sering
membuat sendiri di rumah. Dengan bahan seadanya. Dan itu sangat menguntungkan.
Aku senang membuatnya, keluarga senang menikmatinya.
Sedikit hiburan bagiku,
ketika gorengan yang kubikin cukup banyak, Mama sering menyuruhku memberi
sebagian pada ustadz di masjid. Meski hanya memberikan gorengan, aku sangat
senang bisa melakukannya. Karena aku tak seperti adikku, Icha, yang bisa santai
dan tenang berinteraksi dengan lelaki. Aku terlalu kaku dan tidak pandai bicara
pada lawan jenis. Dan karena itu, aku sering meminta bantuan pada adikku itu
untuk urusan yang satu ini.
Di keluargaku memang sifat
supel terbagi-bagi. Pada intinya kami semua supel. Hanya saja, kakak
perempuanku, Kak Ade dan adikku, Icha, tampak lebih bisa bergaul dengan
laki-laki. Mereka juga bisa bergaul dengan perempuan, tetapi menurutku mereka
kadang lebih nyaman bergaul dengan lelaki. Aku kadang bisa memahami hal itu
karena kebanyakan sifat perempuan suka menggosip, cerewet dan ribet. Dan aku
pun tidak begitu menyukainya. Ya, aku tidak suka sifat menggosip atau ghibah. Tapi aku bisa toleran kepada
pelakunya. Silahkan saja mereka bercerita tentang orang lain kepadaku. Yang
jelas aku tidak pernah mengiyakan perkataan itu jika belum ada bukti, apa lagi
menyebarkannya. Jika perkataan yang
dilontarkan keterlaluan, aku sebisa mungkin menegur dan memperingatinya. Apalagi
jika yang berbuat seperti itu adalah akhwat. Sangat tidak pantas. Hanya itu
yang bisa kulakukan.
Mungkin bagi kedua saudaraku
itu lebih baik tidak mendekati sama sekali hal-hal—dan pelakunya—seperti itu
dari pada harus ikut melakukan perbuatan itu. Aku tidak menyalahkannya. Setiap
orang punya cara masing-masing untuk menjadi lebih baik. Karena baik aku, atau
pun saudara-saudariku tidak ada yang sudah sempurna. Tidak ada. Apalagi aku.
Begitu pula adikku yang
satunya, Ola. Secara sifat, ia mirip denganku. Hanya kadang kurasa, ia lebih
baik. Lebih disayang, tepatnya. Banyak hal yang telah terjadi. Kejadian baik
maupun buruk. Dan aku rasa, sebaiknya kita menyebut ‘masa lalu’ hanya untuk
kenangan-kenangan kejadian yang indah saja. Dengan begitu, pandangan ke depan
akan lebih baik. Adapun kejadian buruk yang pernah kita alami, cukup dijadika
pelajaran, tanpa harus dijadikan kenangan. Dan karena aku lebih suka kenangan
indah, aku akan mempersiapkannya sejak sekarang. Akan kubuat kejadian dan
hal-hal baik, agar bisa menjadi masa laluku di masa yang akan datang nanti. Kau
dan aku. Di mulai dari sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar