Aku anak perempuan berusia 15 tahun
ketika itu. Aku baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertamaku. Karena
banyak alasan, aku bertekad untuk sekolah di luar pulau. Aku ingin bersekolah
sambil menuntut ilmu agama di pesantren. Aku memilih sebuah pesantren di Jawa
Timur. Tetapi orang tuaku tidak mengizinkan. Saat itu aku punya sangat banyak
alasan pendukung, untuk diriku dan orang tuaku. Hampir semua alasan itu adalah
buah pikiran keegoisanku. Yang ketika kukenang kini, aku bahkan heran, mengapa aku
bisa mengatakan itu alasan.
Sedikit cerita, dulu aku sangat
sering dimarahi—atau lebih tepatnya diceramahi—oleh ibuku. Aku saat itu adalah
anak yang sama sekali belum dewasa pikirannya. Ibuku memarahiku dengan
menyerang perasaanku. Tiap perkataannya masuk ke hatiku untuk kutentang. Hampir
semua ucapannya kunilai salah dan bohong. Berlembar-lembar kertas kujadikan
pelampiasan melalui goresan tinta di atasnya. Tak jarang kutulis seberapa besar
kebencianku dan kebenciannya kepadaku. Lebih dari itu, aku lebih sering menulis
kata ‘mengapa’ untuk memulai kalimat-kalimat protesku.
Ya, ‘mengapa’. “Mengapa Mama
sangat suka memarahiku? Apakah salahku sebesar itu?” “Mengapa Mama tidak bisa menunjukkan protes akan kesalahanku dengan cara yang lebih halus?” “Mengapa harus dengan marah?” “Mengapa aku yang jadi pelampiasan?” dan yang terakhir dan yang paling sering kutanyakan, “Mengapa Mama tidak sayang padaku?”
sangat suka memarahiku? Apakah salahku sebesar itu?” “Mengapa Mama tidak bisa menunjukkan protes akan kesalahanku dengan cara yang lebih halus?” “Mengapa harus dengan marah?” “Mengapa aku yang jadi pelampiasan?” dan yang terakhir dan yang paling sering kutanyakan, “Mengapa Mama tidak sayang padaku?”
Ustadzahku memberiku nasehat, “Ridho
Allah ada pada ridhonya kedua orang tua. Terutama ibu. Nabi sendiri juga lebih
mengutamakan seorang ibu. Surga ada di telapak kaki ibu. Jika ibumu murka
padamu, maka leburlah amalan-amalanmu. Sia-sia.”
Penjelasan itu membuatku tambah
bersedih. Aku mulai merangkai kata-kata “Tidak Adil” dalam hatiku. Aku tidak
mau amalanku lebur. Aku tak menyalahkan ibuku. Tetapi, saat itu Mama
hipertensi. Aku dikenal sebagai anak baik yang cukup alim di lingkunganku.
Bahkan adikku pernah berkata, “Aku sering kasihan sama Kakak karena sering
dimarahi Mama.” Salahku adalah, ketika ibuku sedang memarahiku, aku selalu
menjawab. Aku tidak seperti adikku, yang ketika dimarahi begitu, ia hanya bisa
mematung sambil menangis.
Aku bukan anak yang cengeng. Tetapi
setiap setelah dimarahi ibuku, aku selalu ada di dalam kamar, memeluk bantal,
menulis kesedihan dan kejengkelanku sambil menangis. Selain karena ini, jarang
sekali aku menangis.
Sebab-sebab inilah yang paling
membuatku ingin merantau, mengikuti jejak kakak-kakakku yang melanjutkan
pendidikan ke pulau seberang, pulau asalku, Jawa. Dan kini aku di sini, sesuai
keinginanku dulu.
Hmm, ‘dulu’. Apa itu berarti sekarang
ini bukan lagi jadi keinginanku? Ya. Bukan lagi keinginan karena telah
terwujud. Tetapi aku tidak pernah menyesali ini semua. Bukan karena aku senang
jauh dari orang tuaku. Ibuku dulu, sering memarahiku. Waktu itu Mama hanya sering kelelahan. Ayahku menempuh
S3 di Jakarta dan jarang pulang, agar kuliahnya itu cepat selesai. Adik-adikku
masih kecil dan rewel. Dan banyak hal lagi yang membuat emosi ibuku mudah
terpancing. Dan aku baru tersadar kini. Tak ada lagi tuduhan-tuduhan egoisku
pada Mama.
Jadi siapa bilang Mama tidak sayang
padaku? Seorang ibu tetaplah ibu. Dan cinta kasih seorang ibu pada anaknya tak
ada yang bisa memungkiri. Begitu pula cinta dan sayangku pada Mama.
Bagaimanapun, Mama adalah orang pertama bagiku. Seperti sebuah sajak, “Sungguh
rugi bila tak kudapati surga itu di telapak kakimu, oh, Ibu.”
Aku tak ingat lagi kejadian-kejadian
hitam tentang alasan egoisku pergi dari rumah yang nyaman itu. Saat kulirik
belakang, yang terkenang hanya indah. Kasih sayang dan hangatnya keluarga.
Beberapa kali melesat dalam pikiran tanpa diminta, bahwa mengapa aku ingin
pergi dari perangkap bola kaca yang nyaris sempurna? Di sana bisa kudapatkan
kasih orang tua, canda tawa adik-adikku, tenangnya dalam rangkulan ayah dan
teman-temanku sejak kecil yang menyayangiku.
Dari pikiranku yang sederhana
kudapatkan jawaban. Setiap orang, akan berpisah dengan orang lain. Cepat atau
lambat. Setiap orang akan menempuh hidupnya masing-masing. Keluarga hanyalah
wadah. Orang tua adalah pembimbing.
Seorang anak bagai selembar kertas lipat. Orang tua perlahan melipat-lipat kertas itu menjadi sebuah bentuk. Pesawat. Begitu selesai, pesawat kertas itu diterbangkan. Melayang diudara. Berpisah dari pembuatnya. Terbawa angin. Tetapi pesawat kertas ini, meski terbang karena hembusan angin, ia bisa menentukan jalannya sendiri.
Maka aku yang kini mulai mengudara
berusaha sebaik mungkin untuk jalanku diantara deru angin yang kadang kencang
menerbangkan pasir dan melukaiku. Aku ingin menjadi pesawat terhebat yang
melaju kencang menuju masa depan cerah dan kembali pada orang tua dengan
membawakan setangkai bunga kesuksesan. Tak hanya aku, kalian, mereka, semuanya
berhak dan berkesempatan. Amiiin, Ya Robbal ‘Alamiin.
2 komentar:
nice!
nice!
Posting Komentar