Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Merantau ke Pulau Seberang

  • Sabtu, 21 Juli 2012
  • Malika Nur Azkiyah
  • Label:

  • Aku anak perempuan berusia 15 tahun ketika itu. Aku baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertamaku. Karena banyak alasan, aku bertekad untuk sekolah di luar pulau. Aku ingin bersekolah sambil menuntut ilmu agama di pesantren. Aku memilih sebuah pesantren di Jawa Timur. Tetapi orang tuaku tidak mengizinkan. Saat itu aku punya sangat banyak alasan pendukung, untuk diriku dan orang tuaku. Hampir semua alasan itu adalah buah pikiran keegoisanku. Yang ketika kukenang kini, aku bahkan heran, mengapa aku bisa mengatakan itu alasan.
    Sedikit cerita, dulu aku sangat sering dimarahi—atau lebih tepatnya diceramahi—oleh ibuku. Aku saat itu adalah anak yang sama sekali belum dewasa pikirannya. Ibuku memarahiku dengan menyerang perasaanku. Tiap perkataannya masuk ke hatiku untuk kutentang. Hampir semua ucapannya kunilai salah dan bohong. Berlembar-lembar kertas kujadikan pelampiasan melalui goresan tinta di atasnya. Tak jarang kutulis seberapa besar kebencianku dan kebenciannya kepadaku. Lebih dari itu, aku lebih sering menulis kata ‘mengapa’ untuk memulai kalimat-kalimat protesku.
    Ya, ‘mengapa’. “Mengapa Mama
    sangat suka memarahiku? Apakah salahku sebesar itu?” “Mengapa Mama tidak bisa menunjukkan protes akan kesalahanku dengan cara yang lebih halus?” “Mengapa harus dengan marah?” “Mengapa aku yang jadi pelampiasan?” dan yang terakhir dan yang paling sering kutanyakan, “Mengapa Mama tidak sayang padaku?”
    Ustadzahku memberiku nasehat, “Ridho Allah ada pada ridhonya kedua orang tua. Terutama ibu. Nabi sendiri juga lebih mengutamakan seorang ibu. Surga ada di telapak kaki ibu. Jika ibumu murka padamu, maka leburlah amalan-amalanmu. Sia-sia.”
    Penjelasan itu membuatku tambah bersedih. Aku mulai merangkai kata-kata “Tidak Adil” dalam hatiku. Aku tidak mau amalanku lebur. Aku tak menyalahkan ibuku. Tetapi, saat itu Mama hipertensi. Aku dikenal sebagai anak baik yang cukup alim di lingkunganku. Bahkan adikku pernah berkata, “Aku sering kasihan sama Kakak karena sering dimarahi Mama.” Salahku adalah, ketika ibuku sedang memarahiku, aku selalu menjawab. Aku tidak seperti adikku, yang ketika dimarahi begitu, ia hanya bisa mematung sambil menangis.
    Aku bukan anak yang cengeng. Tetapi setiap setelah dimarahi ibuku, aku selalu ada di dalam kamar, memeluk bantal, menulis kesedihan dan kejengkelanku sambil menangis. Selain karena ini, jarang sekali aku menangis.
    Sebab-sebab inilah yang paling membuatku ingin merantau, mengikuti jejak kakak-kakakku yang melanjutkan pendidikan ke pulau seberang, pulau asalku, Jawa. Dan kini aku di sini, sesuai keinginanku dulu.
    Hmm, ‘dulu’. Apa itu berarti sekarang ini bukan lagi jadi keinginanku? Ya. Bukan lagi keinginan karena telah terwujud. Tetapi aku tidak pernah menyesali ini semua. Bukan karena aku senang jauh dari orang tuaku. Ibuku dulu, sering memarahiku. Waktu itu  Mama hanya sering kelelahan. Ayahku menempuh S3 di Jakarta dan jarang pulang, agar kuliahnya itu cepat selesai. Adik-adikku masih kecil dan rewel. Dan banyak hal lagi yang membuat emosi ibuku mudah terpancing. Dan aku baru tersadar kini. Tak ada lagi tuduhan-tuduhan egoisku pada Mama.
    Jadi siapa bilang Mama tidak sayang padaku? Seorang ibu tetaplah ibu. Dan cinta kasih seorang ibu pada anaknya tak ada yang bisa memungkiri. Begitu pula cinta dan sayangku pada Mama. Bagaimanapun, Mama adalah orang pertama bagiku. Seperti sebuah sajak, “Sungguh rugi bila tak kudapati surga itu di telapak kakimu, oh, Ibu.”
    Aku tak ingat lagi kejadian-kejadian hitam tentang alasan egoisku pergi dari rumah yang nyaman itu. Saat kulirik belakang, yang terkenang hanya indah. Kasih sayang dan hangatnya keluarga. Beberapa kali melesat dalam pikiran tanpa diminta, bahwa mengapa aku ingin pergi dari perangkap bola kaca yang nyaris sempurna? Di sana bisa kudapatkan kasih orang tua, canda tawa adik-adikku, tenangnya dalam rangkulan ayah dan teman-temanku sejak kecil yang menyayangiku.
    Saat masa-masa pertama aku di pulau seberang ini, aku sering sendiri. Dalam sendiri itu, aku selalu memikirkan kisahku. Mengapa aku bisa ada di kota ini? Bukan alasan nyata yang ingin kuketahui. Lebih tepatnya, mengapa takdir membawaku ke sini, tempat yang jauh dari orang tua dan keluarga yang sudah bertahun-tahun bersama.
    Dari pikiranku yang sederhana kudapatkan jawaban. Setiap orang, akan berpisah dengan orang lain. Cepat atau lambat. Setiap orang akan menempuh hidupnya masing-masing. Keluarga hanyalah wadah. Orang tua adalah pembimbing.
    Seorang anak bagai selembar kertas lipat. Orang tua perlahan melipat-lipat kertas itu menjadi sebuah bentuk. Pesawat. Begitu selesai, pesawat kertas itu diterbangkan. Melayang diudara. Berpisah dari pembuatnya. Terbawa angin. Tetapi pesawat kertas ini, meski terbang karena hembusan angin, ia bisa menentukan jalannya sendiri.
    Maka aku yang kini mulai mengudara berusaha sebaik mungkin untuk jalanku diantara deru angin yang kadang kencang menerbangkan pasir dan melukaiku. Aku ingin menjadi pesawat terhebat yang melaju kencang menuju masa depan cerah dan kembali pada orang tua dengan membawakan setangkai bunga kesuksesan. Tak hanya aku, kalian, mereka, semuanya berhak dan berkesempatan. Amiiin, Ya Robbal ‘Alamiin.

    2 komentar:

    Posting Komentar

    (c) Copyright 2010 Azkiyah Wish. Blogger template by Bloggermint