Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Kerang Pantai (1)

  • Rabu, 22 Agustus 2012
  • Malika Nur Azkiyah
  • Label:

  • Hari masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah bagi anak-anak pada umumnya. Namun Aulin berbeda. Rumahnya tidak lagi dekat dari sekolah. Ia tak lagi tinggal dengan budenya yang tempat tinggalnya tak jauh dari kota tempat ia sekolah. Dan ini hari pertamanya. Ia harus selalu berangkat jam setengah 6 jika ingin tidak terlambat sampai di sekolah. Itu perkiraannya. Sebab mulai kelas XI semester dua ini ia kembali tinggal dengan ibunya yang telah kembali dari Manado. Ya, hanya ibunya, sebab ayahnya telah tiada sejak umurnya masih enam tahun.

    Jam setengah enam. Rumah Aulin ada di Bantul dan untuk sampai ke sekolahnya di kota Jogja, butuh waktu yang tidak sedikit. Dari rumahnya yang di pedesaan, ia harus naik angkutan umum, yaitu metromini menuju tepi desa. Dari sana ia baru naik bis jalur 15 agar bisa sampai ke sekolahnya.
    Waktu telah menunjukkan pukul 06:15 saat ia sampai di sekolah. Ternyata Aulin salah perhitungan. Sekarang ia punya banyak waktu untuk tidur sampai bel masuk berbunyi. Pagar gerbang bahkan belum terbuka lebar. Hanya ada beberapa orang di dalam; Pak Satmo yang merupakan satpam sekolah, serta Pak Karim si penjaga sekolah.
    Sebetulnya kurang tepat di katakan penjaga. Sebab sekolah Aulin ialah sekolah berbasis Islam yang kebetulan di sana terdapat asrama putra. Sehingga penghuni asrama sudah cukup untuk menjadi penjaga sekolah.
    Hmm... enaknya ngapain, ya? Masa’ mau bobo’ lagi di kelas. Aulin membatin. Ia terus melangkah masuk ke halaman sekolah. Waduh! Kebelet... toilet, toilet! Serunya dalam hati. Ia segera menuju toilet yang letaknya di dekat asrama. Tanpa menunggu, ia langsung menaruh tasnya di tempat sebuah bangku dan masuk ke dalam kamar mandi.
    Sebentar saja Aulin sudah kembali membuka pintu kamar mandi yang ia gunakan. Ia kaget melihat Ezha, teman sekelasnya keluar dari toilet siswa sekolah dengan masih menggunakan kaos oblong dengan peralatan mandi di tangannya.
    “Lho, Aulin. Cepet banget datengnya,kata Ezha.
    “Kamu juga. Cepet banget mandinya. Biasanya jam segini belum mandi. Hihihi...” Aulin tertawa kecil.
    “Asem. Yang penting ‘kan subuhannya!” sergahnya.
    “Ih, siapa bilang aku asem. Aku, tuh manis, yaw...” Aulin tak mau kalah. Saat itu juga, seorang lelaki sebaya Aulin keluar dari kamar mandi dengan juga memakai kaos oblong dan alat mandi di tangannya. Aulin tahu siapa anak ini. Aufan Al Azhar, kelas XI IPA 4. Lelaki putih, berhidung mancung dengan tinggi rata-rata dan wajah yang gak bisa dikatakan jelek ini berjalan melewati Ezha dan Aulin.
    Seketika Aulin menunduk sok tak peduli dan menyembunyikan mukanya yang memerah. Seperti anak pada umumnya, sikap itu menunjukkan bahwa Aulin ada rasa dengan Aufan. Untungnya, Ezha tidak menyadari hal ini. Kulit muka Aulin yang hanya tergolong kuning langsat, tidak begitu terlihat memerah seperti pada anak yang berkulit putih.
    “Ayo, Zha. Mau telat kamu?” kata Aufan. Ezha pun beranjak setelah sebelumnya pamit pada Aulin. Aulin tersenyum. Memandangi mereka berdua sampai hilang di tikungan tembok. Hufft.. am I like him? Oh, God, I hope no. Aulin kembali membatin. Dengan berusaha menepis bayangan Aufan, ia beranjak menuju kelasnya.
    Terlalu menyedihkan menjadi seorang Aulin yang menyukai Aufan. Aufan termasuk cowok beken di sekolahnya. Aktif di OSIS dan Pecinta Alam. Dua organisasi yang tidak Aulin ikuti. Sebenarnya Aufan juga ikut ROHIS, tetapi tidak seaktif ia mengikuti dua organisasi di atas. Aulin sering berharap agar jangan sampai Aufan keluar dari ROHIS. Sebab mungkin tidak ada lagi jalan untuk Aulin bisa dekat dengan orang ia sukai itu.
    Satu lagi yang membuat Aulin malang karena menyukai seorang Aufan. Aufan bukanlah orang yang kenal dengannya (ini pendapat Aulin). Didukung dengan berbagai macam kenyataan bahwa mereka hanya satu kali bicara dalam jangka waktu satu semester ini, hal yang hanya terjadi bagi orang-orang yang tidak seling kenal. Yah, Aulin menyukai seseorang yang bahkan tidak mengenalnya.
    Ia sendiri bingung apa ini bisa dikatakan suka bahkan cinta. Apa Aulin yang memang cepat jatuh cinta itu juga merasakan perasaan ini karena kebiasaannya itu? Tapi selain mudah jatuh cinta, Aulin juga mudah ilfil alias ilang feeling. Sering ia tiba-tiba menyukai seseorang tetapi tidak sampai seminggu kemudian ia sudah ilfil pada orang itu. Tapi kali ini berbeda. Aufan berbeda (lagi-lagi, ini menurut Aulin).
    Apa karena Aufan gagah dan rupawan? Tak jarang Aulin bertanya begitu pada dirinya sendiri. Ia bingung. Apa yang harus ia lakukan? Ia bimbang bahwa ia benar-benar jatuh cinta atau hanya terpesona belaka. Dan ini sudah berlangsung sangat lama tanpa ada peningkatan sama sekali selama tiga semester.
    Tepat ketika masuk ke sekolah ini, ia menemui banyak anak lelaki dengan tampang, penampilan dan karakter menarik. Satu di antaranya ialah Aufan. Dan ia tertarik pada beberapa anak sekaligus. Dan satu per satu ia ilfil pada anak-anak yang ia taruh perhatian itu. Tapi tidak untuk Aufan. Hanya dia yang bertahan sampai sekarang. Dan tidak satu pun yang mengetaui hal ini kecuali dua sahabat Aulin, yaitu Husni dan Salwa. Ia tidak mau ada lagi yang mengetahui perasaannya. Tidak siapapun. Termasuk Aufan.

    .xXXXx.

    “Tadi aku ketemu dia, lho.” Pelan Aulin pada Salwa. Salwa tersenyum.
    Njuk ngopo[1]?” kata Salwa sok acuh. Itu karena ia terlalu sayang pada Aulin. Ia tidak mau sahabatnya ini terus terjebak dalam khayalan yang tak akan sampai itu.
    “Iiih, Salwa, kok gitu, sih? Beneran, lho. Aku gak bohong!” Aulin mengacungkan dua jarinya. Salwa tersenyum. Senyum prihatin.
    “Iya. Aku yakin kamu gak bohong. Masalahnya, kalo kamu ketemu sama dia, terus kenapa?” tanya Salwa. Air muka Aulin berubah.
    “Segitunya, ya? Menyedihkan banget, sih, aku!!” kata Aulin. Salwa menepuk bahu Aulin. Tiba-tiba Husni datang.
    “Halo halo! Lagi ngapain, eh?” ia langsung menghampiri Aulin dan Salwa. Tasnya masih di punggung. Belum sampai suara Aulin keluar untuk menjelaskan, yang bertanya malah memotong,
    “Oiya, tadi barusan aku jalan ke kelas bareng Nafo[2], lho, Lin!”
    “Itu dia yang lagi aku bicarakan sama Salwa.” Kata Aulin datar.
    “Lho, tumben kamu gak semangat. Biasanya begitu denger namanya aja udah sumringah gak jelas. Hehehe...” Husni heran. Aulin tersenyum. Hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa untuk menjelaskan apa yang ada dalam hatinya pada Husni.
    “Apa, sih, Wa?” bisik Husni pada Salwa.
    “Ntar aja, kalo istirahat, ya.” Ucap Salwa. Terpaksa Husni mengubur penasarannya sampai istirahat. Sebetulnya ia ingin memaksa Salwa bercerita. Ya, itu akan ia lakukan kalau seorang guru tidak datang. Guru yang bukan sekedar guru. Pak Rifa’i! Ia sering berkata yang aneh-aneh kalau muridnya tidak mau tenang belajar. Eits, aneh-anehnya bukan jorok, lho. Tapi menakutkan, seperti; “Kalau tidak mau mendengarkan, saya gigit telinganya!” atau, “Jangan ada yang ribut, atau saya seruduk pakai tanduk kayak banteng!” nah, lho. Pak Rifa’i mana punya tanduk?

    .xXXXx.

    Akhirnya bel istirahat berbunyi. Salwa, Husni dan Aulin menuju depan kelas yang sepi. Sebab murid-murid lain banyak yang sedang ke kantin. Sebelum yang lain berbicara, Husni memulai duluan,
    “Lin, kamu kenapa, sih? Aku bingung. Heran. Tapi aku juga prihatin. Tau, nggak? Aku ngerasanya kamu tuh kayak gimanaaa, gitu. Maaf, ya. Kamu tuh kayak kasian banget. Soalnya kamu suka sama orang yang bahkan dia nggak kenal sama kamu. Sekali lagi maaf, ya, say. Tapi kenyataannya emang gitu, kan?” Husni tidak sadar telah menjawab pertanyaannya sendiri.
    Mendengar ucapan Husni, Aulin sedikit tersinggung. Ya nggak usah gitu banget, dong ngomongnya! Aulin hanya bisa mengungkapkan dalam hati. Untungnya Salwa segera berkata,
    “Husni, ngomongnya dijaga dikit, dong. Ngertiin perasaan orang lain,” Pelannya. Husni tersenyum dan mengangguk.
    “Kan aku udah minta maaf. Dimaafin, yah, Lin?” pintanya pada Aulin. Tanpa ingin ada permusuhan gara-gara hal sepele, ia pun mengangguk.
    “Nah, sekarang kamu cerita, dong. Tadi ada apa. Kok sampai nggak respon waktu ngomongin Aufan,” Tanya Husni yang masih tidak sadar kalau perkataannya tadi adalah jawaban atas pertnyaannya sendiri. Aulin dan Salwa berpandangan, lalu tertawa.
    “Hahaha! Kamu tuh lucu, deh, Ni! Yang tadi kamu jelasin ke kita itu jawabannya,” Jelas Salwa.
    “Eh? Iya, tho? Hehehe...” Husni tertawa sendiri. Kedua temannya hanya melihat dengan sok heran, terus menerus hingga Husni salah tingkah dan diam sendiri.
    “Iiih! Kalian!” Kata Husni sambil malu-malu dan menunduk.
    “Iiih, Husni. Malu, ya, sama kita? Pake nunduk segala. Hahaha,” Aulin menggodanya. Akhirnya mereka terus berncanda gurau. Aulin melupakan masalahnya saat itu. Sampai seseorang menghampiri mereka.
    “Maaf, bisa tolong bagiin ini ke anak-anak sekelas?” tanyanya. Aulin menoleh. Suara ini, ia tahu. Aufan.
    “Oh, iya. Bisa. Ini kertas apa?” bukan Aulin, tetapi Husni. Ia berdiri menghampiri Aufan dan menerima tumpukan kertas dari Aufan.
    Surat pemberitahuan. Makasih, ya,” Aufan tersenyum. Dalam hati Aulin merengut.
    “Sama-sama. Mau bagiin ke kelas lain, ya?” tanya Husni. Aufan hanya mengangguk lalu beranjak ke kelas sebelah. Lalu Husni menoleh ke arah Salwa dan Aulin.
    “Aku mau bagiin ini dulu, ya,ucapnya dengan senyum ceria. Aulin dan Salwa mengangguk bersamaan. Husni pun masuk ke dalam kelas. Di luar, Aulin dan Salwa terdiam.
    “Kamu ngerasa, nggak? Nyadar nggak?” ujar Aulin pelan.
    “Iya. Tuh anak kok gitu, ya?” jawab Salwa ikut pelan. Lalu tangannya mengusap pundak Aulin.
    Bel berbunyi. Dengan nada-nada yang terdengar manis. Aulin mencoba tersenyum. Perasaannya selalu membaik setelah tersenyum. Ia lalu berdiri.
    “Oke. Aku baik-baik saja. Aku anak yang cantik dan baik hati, suka menabung, senang menolong dan ramah. Jadi nggak perlu sedih. Dia bukan siapa-siapa!” Tuturnya lancar.
    “Suka menabung? Memangnya tabunganmu sekarang berapa?” bisik Salwa tepat di telinga Aulin.
    Eh?! Hehehe... belum mulai, sih,” Aulin cekikikan.
    Diantara Aulin, Husni dan Salwa, memang Husni-lah yang paling cantik. Namun Aulin tidak bisa dikatakan jelek. Kulitnya kuning langsat dengan mata beningnya serta wajahnya yang manis. Begitu pula dengan Salwa. Bedanya, kulit Salwa sawo matang. Walau tidak terlalu putih, Salwa anak yang manis dengan pipinya yang agak chubby ditambah bulu matanya yang lentik menghiasi mata bulatnya yang bersinar. Namun, tetap saja, yang terlihat cantik dengan sekali lirik adalah Husni. Hal itulah yang membuat Aulin dan Salwa sering merasa minder.

    .xXXXx.


    Hari itu hujan. Aulin sudah membawa payung yang baru ia beli kemarin. Dan hari ini ia langsung memakainya. Salwa dan Husni sudah pulang duluan. Aulin tadi masih harus mengurus tugasnya dan harus ia presentasikan hari itu juga. Alhasil ia baru bisa pulang pukul 4 sore. Ia sempatkan ke mesjid sekolah untuk sholat ashar.
    Setelah wudhu, ia segera sholat. Mesjid sepi kali itu. Ia sholat dengan khusyuk. Meski hujan membuat hawa menjadi dingin, Aulin selalu merasa hangat bila sedang dibalut dengan mukena dan bersujud memuji Ilahi. Allah selalu ada di hatinya.
    Setelah sholat dan berdoa, Aulin melihat sekelilingnya. Di dalam mesjid hanya ada dia seorang. Sepertinya memang sudah sangat sore sekarang. Ia segera keluar dan memakai sepatunya. Ia memandang langit yang meneteskan rintik. Tiba-tiba ia sudah tenggelam dalam sebuah khayalan.
    Aulin sedang berjalan di tengah gerimisnya hujan. Lalu ia merasa tidak ada titik-titik hujan yang menjatuhinya. Ternyata seseorang melindunginya dengan payung dari belakang. Ia menoleh dan mendapati Aufan sedang tersenyum padanya sambil menyodorkan payung.
    “Astaghfirullaah...” ucapnya. Ia menepis khayalan aneh itu. Ada banyak kemustahilan atas khayalannya dalam kenyataan.
    Pertama, ia sudah punya payung. Bagaimana mungkin ia kehujanan?
    Tapi bisa saja tiba-tiba payungku hilang atau ada yang ngambil. Jadi kehujanan, kan? Batinnya.
    Kedua, kalau memang sedang hujan, hanya ada sangat sedikit kemungkinan bagi seseorang untuk meminjamkan payungnya pada orang lain.
    Tiap orang, kan berbeda. Aku yakin Aufan orang yang baik. Jadi, mungkin saja, kan? Lagi-lagi batinnya menentang.
    Ketiga, Aufan tidak kenal dengan Aulin.
    Huuft... ternyata memang impossible. Ya sudah lah. Udah sore. Bisa-bisa nyampe rumah pas maghrib, nih!
    Ia pun mengambil payung lalu membukanya dan mulai berjalan menuju gerbang. Ia melewati bangunan demi bangunan. Saat mendekati tangga, ia melihat Aufan dari kejauhan. Ia juga menuju gerbang. Aulin segera bersembunyi. Ia mengintip dan melihat Aufan berjalan cepat di bawah gerimis dengan tangan menutupi kepala.
    Kok malah kebalikan khayalanku tadi, ya? Tanyanya dalam hati. Tapi aku gak mungkin datengin dia dan mayungin dia. Tapi, kasihan dia. Hujan-hujan gitu. Mau kemana, ya? Lanjutnya.
    Aufan semakin mendekat. Saat sudah hampir di depan tempatnya bersembunyi. Tanpa ia sadari, tangannya melempar payung yang ia pegang. Payung itu jatuh tepat di depan Aufan. Dari balik tembok tempat ia bersembunyi, Aulin deg-degan bukan main. Ia merutuki dirinya sendiri.
    Kenapa aku lakuin itu! Aduuh! Kenapa musti ngelempar payung!! Kenapa sih aku ini!!
    Kemudian Aulin mengintip keluar. Terlihat Aufan menolehkan kepalanya ke arah tembok tempat asal payung itu terlempar. Aulin semakin khawatir dan takut. Untungnya Aufan hanya menoleh. Dan karena ia hanya mendapati tembok yang hening, maka ia mengambil payung yang jatuh itu, menimang-nimangnya sebentar, lalu menaruhnya di samping pot di bawah pohon terdekat. Lalu berlari kecil keluar sekolah.
    Dari balik tembok, Aulin terus memperhatikan Aufan sampai hilang di tikungan gerbang. Ia menghela napas. Entah karena lega atau kecewa. Sebetulnya ia berharap kalau payungnya dipakai oleh Aufan. Akhirnya, setelah beberapa saat, Aulin keluar dari balik tembok dan mengambil payungnya. Lalu dengan langkah terburu-buru ia keluar dari sekolah dan menuju tempat pemberhentian bis.
    Sambil menunggu datangnya bis dengan jalur yang sesuai, Aulin merenungkan yang barusan terjadi. Ia merasa terlalu bodoh dengan tidak melihat siapa orang yang ia suka. Aufan. Seorang Aufan yang bisa dibilang sempurna! Meski beken, gagah dan pintar, ia tidak suka terlalu dekat dengan perempuan yang bukan mahramnya. Ia menjaga pergaulannya. Ia juga menjaga sholat dan bersifat kepemimpinan. Sejak kelas satu, ia sudah beberapa kali menjadi ketua panitia dalam suatu kegiatan.
    Triiiing... triiiiing... suara dari handphone Aulin. Sebuah sms masuk.

    Lin, kenapa belum pulang? Sudah jam setengah lima, lho. Cepat pulang.

    Ternyata ia lupa minta izin pulang terlambat sehingga ibunya khawatir. Ia merasa bersalah. Segera ia kirim balasan.

    Iya, Bu. Tadi habis presentasi tugas. Jadi pulangnya telat. Ini lagi nunggu bis. Oya, tolong jemput aku di tempat turun bis, ya, Bu. Makasih ya, Bu.

    Aulin melirik jam di handphone-nya. Pukul lima kurang lima belas menit. Aulin khawatir tidak ada bis yang akan lewat. Namun baru saja ia berpikir begitu, sebuah bis biru menampakkan dirinya. Dengan hati lega Aulin masuk dan duduk di bangku yang tersisa.


    .xXXXx.

    A... U... Aulin ingin menulis namanya di sebuah kertas. Baru dua huruf ia goreskan, Salwa dan Husni sudah mengganggunya.
    “Hayooo! Mau nulis Au...” Salwa membekap mulut Husni yang bisa-bisa membocorkan rahasia Aulin pada anak-anak sekelas. Aulin sendiri sudah melotot dengan tangan hendak mencekik Husni.
    “Hehehe, maaf,” Ucap Husni.
    “Kamu mau nulis namanya Nafo? Bahaya banget kamu!” kata Salwa.
    “Hah? Nggak, tuh. Aku mau nulis namaku.” Sangkal Aulin. Kedua sohibnya saling berpandangan. Raut wajah mereka seperti menyadari sesuatu.
    “Oh, iya ya. Kalian sama-sama berawalan ‘AU’ dan berakhiran N, ya. Hohoho...” Salwa tertawa.
    “Cieeee! Seneng, nih!” Husni mencolek pipi Aulin yang bersemu malu. Tiba-tiba ia berdiri. Mengangkat tangan.
    “Yeeeeei! Haha!” soraknya. Husni dan Salwa diam.
    Salwa berbisik pada Husni, “Ngapain nih bocah? Aneh…” Aulin jadi salah tingkah. Dan merekapun tertawa bersama.
    “Ngantin, yuk!” ajak Salwa. Yang lain mengangguk. Mereka sama-sama lapar. Mereka berjalan cepat menuju kantin yang letaknya di pojok sekolah. Dari jauh, ia melihat Aufan berjalan menuju ke arahnya. Melewati, tepatnya. Salwa menyiku di kanan. Husni menyiku di kiri. Aulin mengaduh pelan. Sok memarahi mereka, terus sok sibuk berbicara dengan mereka sampai Aufan melewati mereka. Tanpa kata tanpa suara. Aulin hanya meliriknya sekilas.
    Aulin cengar-cengir sendiri. Sampai ia menunduk tertawa karena senang. Dan ketika menunduk itu, ia melihat sebuah kartu tergeletak di lantai. Ia memungutnya. Saat ia lihat nama yang tertera di sana, jantungnya berdegup kencang. Husni dan Salwa meliriknya. Husni tiba-tiba mengambilnya dari tangan Aulin.
    “Biar kukembalikan.” Katanya spontan. Aulin merengut, mewek.
    “Heeh!” Salwa menarik kartu itu dari Husni. “Biar Aulin yang balikin!” katanya sambil menyerahkan kartu itu pada Aulin. Aulin langsung sumringah lagi.
    “Tapi aku balikinnya gimana?” Aulin bertanya.
    “Pikir sendiri aja. Aku laper. Hehehe.” Salwa melesat masuk ke penjual makanan. Ia pun melirik ke arah Husni. Husni tersenyum. Mengangkat tangan kanan.
    “Babay!” ia juga melesat masuk mengikuti Salwa. Sebenarnya Aulin sudah sangat ingin memberikan kartu itu pada Aufan. Tapi ia bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dua kawannya itu. Lagi pula, rasa lapar mengalahkan keinginannya bertemu Aufan.
    .xXXXx.
    *bersambung ^^


    [1] Terus kenapa?
    [2] Nafo=Ofan=Aufan, nama samara saat membicarakan Aufan di tempat umum.

    0 komentar:

    Posting Komentar

    (c) Copyright 2010 Azkiyah Wish. Blogger template by Bloggermint