
Jam setengah
enam. Rumah Aulin ada di Bantul dan untuk sampai ke sekolahnya di kota Jogja, butuh waktu
yang tidak sedikit. Dari rumahnya yang di pedesaan, ia harus naik angkutan umum,
yaitu metromini menuju tepi desa. Dari sana ia baru naik bis jalur 15 agar bisa sampai ke sekolahnya.
Waktu telah
menunjukkan pukul 06:15 saat ia
sampai di sekolah. Ternyata Aulin salah perhitungan.
Sekarang ia punya banyak waktu untuk tidur sampai bel masuk berbunyi. Pagar
gerbang bahkan belum terbuka lebar. Hanya ada beberapa orang di dalam; Pak
Satmo yang merupakan satpam sekolah, serta Pak Karim si penjaga sekolah.
Sebetulnya kurang
tepat di katakan penjaga. Sebab sekolah Aulin ialah sekolah berbasis Islam yang kebetulan di sana
terdapat asrama putra. Sehingga penghuni asrama sudah cukup untuk menjadi
penjaga sekolah.
Hmm... enaknya ngapain, ya? Masa’ mau bobo’ lagi di
kelas. Aulin membatin. Ia terus melangkah masuk ke
halaman sekolah. Waduh! Kebelet...
toilet, toilet! Serunya dalam hati. Ia segera menuju toilet yang letaknya
di dekat asrama. Tanpa menunggu, ia langsung menaruh tasnya di tempat sebuah
bangku dan masuk ke dalam kamar mandi.
Sebentar saja Aulin
sudah kembali membuka pintu kamar mandi yang ia gunakan. Ia kaget melihat Ezha,
teman sekelasnya keluar dari toilet siswa sekolah dengan masih menggunakan kaos
oblong dengan peralatan mandi di tangannya.
“Lho, Aulin.
Cepet banget datengnya,” kata Ezha.
“Kamu juga. Cepet
banget mandinya. Biasanya jam segini belum mandi. Hihihi...” Aulin tertawa kecil.
“Asem. Yang
penting ‘kan subuhannya!” sergahnya.
“Ih, siapa bilang
aku asem. Aku, tuh manis, yaw...” Aulin tak mau kalah. Saat itu juga, seorang
lelaki sebaya Aulin keluar dari kamar mandi dengan juga memakai kaos oblong dan
alat mandi di tangannya. Aulin tahu siapa anak ini. Aufan Al Azhar, kelas XI IPA 4.
Lelaki putih, berhidung mancung dengan tinggi rata-rata dan wajah yang gak bisa
dikatakan jelek ini berjalan melewati Ezha dan Aulin.
Seketika Aulin
menunduk sok tak peduli dan menyembunyikan mukanya yang memerah. Seperti anak
pada umumnya, sikap itu menunjukkan bahwa Aulin ada rasa dengan Aufan.
Untungnya, Ezha tidak menyadari hal ini. Kulit muka Aulin yang hanya tergolong
kuning langsat, tidak begitu terlihat memerah seperti pada anak yang berkulit
putih.
“Ayo, Zha. Mau
telat kamu?” kata Aufan. Ezha pun beranjak setelah sebelumnya pamit pada Aulin.
Aulin tersenyum. Memandangi mereka berdua sampai hilang di tikungan tembok. Hufft.. am I like him? Oh, God, I hope no.
Aulin kembali membatin. Dengan berusaha menepis bayangan Aufan, ia beranjak
menuju kelasnya.
Terlalu
menyedihkan menjadi seorang Aulin yang menyukai Aufan. Aufan termasuk cowok beken di sekolahnya. Aktif di OSIS
dan Pecinta Alam. Dua organisasi yang tidak Aulin ikuti. Sebenarnya Aufan juga
ikut ROHIS, tetapi tidak seaktif ia mengikuti dua organisasi di atas. Aulin
sering berharap agar jangan sampai Aufan keluar dari ROHIS. Sebab mungkin tidak
ada lagi jalan untuk Aulin bisa dekat dengan orang ia sukai itu.
Satu lagi yang
membuat Aulin malang karena menyukai seorang Aufan. Aufan bukanlah orang yang
kenal dengannya (ini pendapat Aulin). Didukung dengan berbagai macam kenyataan
bahwa mereka hanya satu kali bicara dalam jangka waktu satu semester ini, hal yang hanya
terjadi bagi orang-orang yang tidak seling kenal. Yah, Aulin menyukai seseorang
yang bahkan tidak mengenalnya.
Ia sendiri
bingung apa ini bisa dikatakan suka bahkan cinta. Apa Aulin yang memang cepat
jatuh cinta itu juga merasakan perasaan ini karena kebiasaannya itu? Tapi selain
mudah jatuh cinta, Aulin juga mudah ilfil
alias ilang feeling. Sering ia
tiba-tiba menyukai seseorang tetapi tidak sampai seminggu kemudian ia sudah ilfil pada
orang itu. Tapi kali ini berbeda. Aufan berbeda (lagi-lagi, ini menurut Aulin).
Apa karena Aufan gagah dan rupawan? Tak jarang Aulin bertanya begitu pada dirinya sendiri. Ia bingung. Apa
yang harus ia lakukan? Ia bimbang bahwa ia benar-benar jatuh cinta atau hanya
terpesona belaka. Dan ini sudah berlangsung sangat lama tanpa ada peningkatan
sama sekali selama tiga semester.
Tepat ketika
masuk ke sekolah ini, ia menemui banyak anak lelaki dengan tampang, penampilan
dan karakter menarik. Satu di antaranya ialah Aufan. Dan ia tertarik pada beberapa anak
sekaligus. Dan satu per satu ia ilfil pada anak-anak yang ia taruh perhatian
itu. Tapi tidak untuk Aufan. Hanya dia yang bertahan sampai sekarang. Dan tidak
satu pun yang mengetaui hal ini kecuali dua sahabat Aulin, yaitu Husni dan Salwa.
Ia tidak mau ada lagi yang mengetahui perasaannya. Tidak siapapun. Termasuk Aufan.
.xXXXx.
“Tadi aku ketemu dia, lho.” Pelan Aulin pada Salwa. Salwa
tersenyum.
“Njuk ngopo[1]?”
kata Salwa sok acuh. Itu karena ia terlalu sayang pada Aulin. Ia tidak mau sahabatnya ini terus terjebak
dalam khayalan yang tak akan sampai itu.
“Iiih, Salwa, kok
gitu, sih? Beneran, lho. Aku gak bohong!” Aulin mengacungkan dua jarinya. Salwa
tersenyum. Senyum prihatin.
“Iya. Aku yakin
kamu gak bohong. Masalahnya, kalo kamu ketemu sama dia, terus kenapa?” tanya Salwa.
Air muka Aulin berubah.
“Segitunya, ya?
Menyedihkan banget, sih, aku!!” kata Aulin. Salwa menepuk bahu Aulin. Tiba-tiba
Husni datang.
“Halo halo! Lagi
ngapain, eh?” ia langsung menghampiri Aulin dan Salwa. Tasnya masih di
punggung. Belum sampai suara Aulin keluar untuk menjelaskan, yang bertanya
malah memotong,
“Oiya, tadi
barusan aku jalan ke kelas bareng Nafo[2],
lho, Lin!”
“Itu dia yang
lagi aku bicarakan sama Salwa.” Kata Aulin datar.
“Lho, tumben kamu
gak semangat. Biasanya begitu denger namanya aja udah sumringah gak jelas.
Hehehe...” Husni heran. Aulin tersenyum. Hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa
untuk menjelaskan apa yang ada dalam hatinya pada Husni.
“Apa, sih, Wa?”
bisik Husni pada Salwa.
“Ntar aja, kalo
istirahat, ya.” Ucap Salwa. Terpaksa Husni mengubur penasarannya sampai
istirahat. Sebetulnya ia ingin memaksa Salwa bercerita. Ya, itu akan ia lakukan
kalau seorang guru tidak datang. Guru yang bukan sekedar guru. Pak Rifa’i! Ia
sering berkata yang aneh-aneh kalau muridnya tidak mau tenang belajar. Eits,
aneh-anehnya bukan jorok, lho. Tapi menakutkan, seperti; “Kalau tidak mau mendengarkan, saya
gigit telinganya!” atau, “Jangan ada yang ribut, atau saya seruduk pakai tanduk
kayak banteng!” nah, lho. Pak Rifa’i mana punya tanduk?
.xXXXx.
Akhirnya bel
istirahat berbunyi. Salwa, Husni dan Aulin menuju depan kelas yang sepi. Sebab
murid-murid lain banyak yang sedang ke kantin. Sebelum yang lain berbicara, Husni
memulai duluan,
“Lin, kamu
kenapa, sih? Aku bingung. Heran. Tapi aku juga prihatin. Tau, nggak? Aku
ngerasanya kamu tuh kayak gimanaaa, gitu. Maaf, ya. Kamu tuh kayak kasian banget. Soalnya
kamu suka sama orang yang bahkan dia nggak kenal sama kamu. Sekali lagi maaf,
ya, say. Tapi kenyataannya emang gitu, kan?” Husni tidak sadar telah menjawab
pertanyaannya sendiri.
Mendengar ucapan Husni,
Aulin sedikit tersinggung. Ya nggak usah
gitu banget, dong ngomongnya! Aulin hanya bisa mengungkapkan dalam hati.
Untungnya Salwa segera berkata,
“Husni,
ngomongnya dijaga dikit, dong. Ngertiin perasaan orang lain,” Pelannya. Husni tersenyum
dan mengangguk.
“Kan aku udah
minta maaf. Dimaafin, yah, Lin?” pintanya pada Aulin. Tanpa ingin ada
permusuhan gara-gara hal sepele, ia pun mengangguk.
“Nah, sekarang
kamu cerita, dong. Tadi ada apa. Kok sampai nggak respon waktu ngomongin Aufan,” Tanya Husni yang masih
tidak sadar kalau perkataannya tadi adalah jawaban atas pertnyaannya sendiri. Aulin
dan Salwa berpandangan, lalu tertawa.
“Hahaha! Kamu tuh
lucu, deh, Ni! Yang tadi kamu jelasin ke kita itu jawabannya,” Jelas Salwa.
“Eh? Iya, tho? Hehehe...” Husni tertawa sendiri. Kedua
temannya hanya melihat dengan sok heran, terus menerus hingga Husni salah
tingkah dan diam sendiri.
“Iiih! Kalian!” Kata Husni sambil
malu-malu dan menunduk.
“Iiih, Husni. Malu,
ya, sama kita?
Pake nunduk segala. Hahaha,” Aulin menggodanya. Akhirnya mereka terus berncanda
gurau. Aulin melupakan masalahnya saat itu. Sampai seseorang menghampiri
mereka.
“Maaf, bisa
tolong bagiin ini ke anak-anak sekelas?” tanyanya. Aulin menoleh. Suara ini, ia
tahu. Aufan.
“Oh, iya. Bisa. Ini
kertas apa?” bukan Aulin, tetapi Husni. Ia berdiri menghampiri Aufan dan
menerima tumpukan kertas dari Aufan.
“Surat pemberitahuan.
Makasih, ya,”
Aufan tersenyum. Dalam hati Aulin merengut.
“Sama-sama. Mau
bagiin ke kelas lain, ya?” tanya Husni. Aufan hanya mengangguk lalu beranjak ke
kelas sebelah. Lalu Husni menoleh ke arah Salwa dan Aulin.
“Aku mau bagiin
ini dulu, ya,”
ucapnya
dengan senyum ceria. Aulin dan Salwa mengangguk bersamaan. Husni pun masuk ke
dalam kelas. Di luar, Aulin dan Salwa terdiam.
“Kamu ngerasa,
nggak? Nyadar nggak?” ujar Aulin pelan.
“Iya. Tuh anak
kok gitu, ya?” jawab Salwa ikut pelan. Lalu tangannya mengusap pundak Aulin.
Bel berbunyi.
Dengan nada-nada yang terdengar manis. Aulin mencoba tersenyum. Perasaannya
selalu membaik setelah tersenyum. Ia lalu berdiri.
“Oke. Aku
baik-baik saja. Aku anak yang cantik dan baik hati, suka menabung, senang
menolong dan ramah. Jadi nggak perlu sedih. Dia bukan siapa-siapa!” Tuturnya lancar.
“Suka menabung? Memangnya
tabunganmu sekarang berapa?” bisik Salwa tepat di telinga Aulin.
“Eh?! Hehehe... belum
mulai, sih,” Aulin
cekikikan.
Diantara Aulin, Husni
dan Salwa, memang Husni-lah yang paling cantik. Namun Aulin tidak bisa
dikatakan jelek. Kulitnya kuning langsat dengan mata beningnya serta wajahnya
yang manis. Begitu pula dengan Salwa. Bedanya, kulit Salwa sawo matang. Walau
tidak terlalu putih, Salwa anak yang manis dengan pipinya yang agak chubby
ditambah bulu matanya yang lentik menghiasi mata bulatnya yang bersinar. Namun,
tetap saja, yang terlihat cantik dengan sekali lirik adalah Husni. Hal itulah
yang membuat Aulin dan Salwa sering merasa minder.
.xXXXx.
Hari itu hujan. Aulin
sudah membawa payung yang baru ia beli kemarin. Dan hari ini ia langsung
memakainya. Salwa dan Husni sudah pulang duluan. Aulin tadi masih harus
mengurus tugasnya dan harus ia presentasikan hari itu juga. Alhasil ia baru bisa
pulang pukul 4 sore. Ia sempatkan ke mesjid sekolah untuk sholat ashar.
Setelah wudhu, ia
segera sholat. Mesjid sepi kali itu. Ia sholat dengan khusyuk. Meski hujan
membuat hawa menjadi dingin, Aulin selalu merasa hangat bila sedang dibalut
dengan mukena dan bersujud memuji Ilahi. Allah selalu ada di hatinya.
Setelah sholat
dan berdoa, Aulin melihat sekelilingnya. Di dalam mesjid hanya ada dia seorang.
Sepertinya memang sudah sangat sore sekarang. Ia segera keluar dan memakai
sepatunya. Ia memandang langit yang meneteskan rintik. Tiba-tiba ia sudah tenggelam dalam sebuah khayalan.
Aulin sedang berjalan di tengah gerimisnya hujan. Lalu ia merasa tidak ada
titik-titik hujan yang menjatuhinya. Ternyata seseorang melindunginya dengan payung dari
belakang. Ia menoleh dan mendapati Aufan sedang tersenyum padanya sambil
menyodorkan payung.
“Astaghfirullaah...”
ucapnya. Ia menepis khayalan aneh itu. Ada banyak kemustahilan atas khayalannya
dalam kenyataan.
Pertama, ia sudah
punya payung. Bagaimana mungkin ia kehujanan?
Tapi bisa saja tiba-tiba payungku hilang atau ada yang
ngambil. Jadi kehujanan, kan? Batinnya.
Kedua, kalau
memang sedang hujan, hanya ada sangat sedikit kemungkinan bagi seseorang untuk
meminjamkan payungnya pada orang lain.
Tiap orang, kan berbeda. Aku yakin Aufan orang yang baik.
Jadi, mungkin saja, kan? Lagi-lagi batinnya menentang.
Ketiga, Aufan
tidak kenal dengan Aulin.
Huuft... ternyata memang impossible. Ya sudah lah. Udah
sore. Bisa-bisa nyampe rumah pas maghrib, nih!
Ia pun mengambil
payung lalu membukanya dan mulai berjalan menuju gerbang. Ia melewati bangunan
demi bangunan. Saat mendekati tangga, ia melihat Aufan dari kejauhan. Ia juga
menuju gerbang. Aulin segera bersembunyi. Ia mengintip dan melihat Aufan
berjalan cepat di bawah gerimis dengan tangan menutupi kepala.
Kok malah kebalikan khayalanku tadi, ya? Tanyanya dalam hati. Tapi aku
gak mungkin datengin dia dan mayungin dia. Tapi, kasihan dia. Hujan-hujan gitu.
Mau kemana, ya? Lanjutnya.
Aufan semakin
mendekat. Saat sudah hampir di depan tempatnya bersembunyi. Tanpa ia sadari,
tangannya melempar payung yang ia pegang. Payung itu jatuh tepat di depan Aufan.
Dari balik tembok tempat ia bersembunyi, Aulin deg-degan bukan main. Ia
merutuki dirinya sendiri.
Kenapa aku lakuin itu! Aduuh! Kenapa musti ngelempar
payung!! Kenapa sih aku ini!!
Kemudian Aulin
mengintip keluar. Terlihat Aufan menolehkan kepalanya ke arah tembok tempat
asal payung itu terlempar. Aulin semakin khawatir dan takut. Untungnya Aufan
hanya menoleh. Dan karena ia hanya mendapati tembok yang hening, maka ia
mengambil payung yang jatuh itu, menimang-nimangnya sebentar, lalu menaruhnya
di samping pot di bawah pohon terdekat. Lalu berlari kecil keluar sekolah.
Dari balik
tembok, Aulin terus memperhatikan Aufan sampai hilang di tikungan gerbang. Ia
menghela napas. Entah karena lega atau kecewa. Sebetulnya ia berharap kalau
payungnya dipakai oleh Aufan. Akhirnya, setelah beberapa saat, Aulin keluar
dari balik tembok dan mengambil payungnya. Lalu dengan langkah terburu-buru ia
keluar dari sekolah dan menuju tempat pemberhentian bis.
Sambil menunggu
datangnya bis dengan jalur yang sesuai, Aulin merenungkan yang barusan terjadi.
Ia merasa terlalu bodoh dengan tidak melihat siapa orang yang ia suka. Aufan.
Seorang Aufan yang bisa dibilang sempurna! Meski beken, gagah dan pintar, ia tidak suka
terlalu dekat dengan perempuan yang bukan mahramnya. Ia menjaga pergaulannya. Ia juga menjaga sholat dan bersifat kepemimpinan. Sejak kelas satu, ia sudah
beberapa kali menjadi ketua panitia dalam suatu kegiatan.
Triiiing...
triiiiing... suara dari handphone Aulin. Sebuah sms masuk.
Lin, kenapa belum pulang? Sudah jam setengah
lima, lho. Cepat pulang.
Ternyata ia lupa minta izin pulang
terlambat sehingga ibunya khawatir. Ia merasa
bersalah. Segera ia kirim balasan.
Iya, Bu. Tadi habis presentasi tugas.
Jadi pulangnya telat. Ini lagi nunggu bis. Oya, tolong jemput aku di tempat
turun bis, ya, Bu. Makasih ya, Bu.
Aulin melirik jam di handphone-nya.
Pukul lima kurang lima belas menit. Aulin khawatir tidak ada bis yang akan
lewat. Namun baru saja ia berpikir begitu, sebuah bis biru menampakkan dirinya.
Dengan hati lega Aulin masuk dan duduk di bangku yang tersisa.
.xXXXx.
“A...
U...” Aulin ingin menulis namanya di
sebuah kertas. Baru dua huruf ia goreskan, Salwa dan Husni sudah mengganggunya.
“Hayooo! Mau nulis Au...” Salwa
membekap mulut Husni yang bisa-bisa membocorkan rahasia Aulin pada anak-anak sekelas. Aulin sendiri sudah melotot dengan
tangan hendak mencekik Husni.
“Hehehe, maaf,” Ucap Husni.
“Kamu mau nulis namanya Nafo? Bahaya
banget kamu!” kata Salwa.
“Hah? Nggak, tuh. Aku mau nulis
namaku.” Sangkal Aulin. Kedua sohibnya saling
berpandangan. Raut wajah mereka seperti menyadari sesuatu.
“Oh, iya ya. Kalian sama-sama
berawalan ‘AU’ dan berakhiran N, ya. Hohoho...” Salwa tertawa.
“Cieeee! Seneng, nih!” Husni mencolek
pipi Aulin yang bersemu malu. Tiba-tiba ia berdiri. Mengangkat tangan.
“Yeeeeei! Haha!” soraknya. Husni dan Salwa
diam.
Salwa berbisik
pada Husni, “Ngapain nih bocah? Aneh…” Aulin jadi salah
tingkah. Dan merekapun tertawa bersama.
“Ngantin, yuk!” ajak Salwa. Yang lain
mengangguk. Mereka sama-sama lapar. Mereka berjalan cepat menuju kantin yang
letaknya di pojok sekolah. Dari jauh, ia melihat Aufan berjalan menuju ke
arahnya. Melewati, tepatnya. Salwa menyiku di kanan. Husni menyiku di kiri. Aulin
mengaduh pelan. Sok memarahi mereka, terus sok sibuk berbicara dengan mereka
sampai Aufan melewati mereka. Tanpa kata tanpa suara. Aulin hanya meliriknya
sekilas.
Aulin cengar-cengir sendiri. Sampai ia
menunduk tertawa karena senang. Dan ketika menunduk itu, ia melihat sebuah
kartu tergeletak di lantai. Ia memungutnya. Saat ia lihat nama yang tertera di
sana, jantungnya berdegup kencang. Husni dan Salwa meliriknya. Husni tiba-tiba
mengambilnya dari tangan Aulin.
“Biar kukembalikan.” Katanya spontan. Aulin
merengut, mewek.
“Heeh!” Salwa menarik kartu itu dari Husni.
“Biar Aulin yang balikin!” katanya sambil menyerahkan kartu itu pada Aulin. Aulin
langsung sumringah lagi.
“Tapi aku balikinnya gimana?” Aulin
bertanya.
“Pikir sendiri aja. Aku laper.
Hehehe.” Salwa melesat masuk ke penjual makanan. Ia pun melirik ke arah Husni. Husni
tersenyum. Mengangkat tangan kanan.
“Babay!” ia juga melesat masuk
mengikuti Salwa. Sebenarnya Aulin sudah sangat ingin memberikan kartu itu pada Aufan.
Tapi ia bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dua kawannya itu. Lagi
pula, rasa lapar mengalahkan keinginannya bertemu Aufan.
.xXXXx.
*bersambung ^^
0 komentar:
Posting Komentar