Lagi-lagi ia pulang terlambat. Namun
kali ini ia sudah izin terlebih dahulu pada ibunya. Jadi ia merasa sedikit
tenang. Azan ashar berkumandang. Ia telah siap di mesjid sekolahnya. Ia akan
segera pulang setelah ini. Kembali hujan rintik-rintik. Aulin sholat dengan
khusyuk. Saat itu masih ada beberapa anak di sekolah. Ia tidak merasa sendirian.
Saat Aulin hendak memakai sepatu, ia
teringat akan kartu milik Aufan. Ia ingin segera memberikannya sebelum Aufan
kebingungan mencarinya. Ia mencari cara agar tak perlu berbicara dengannya
untuk mengembalikan kartu itu pada pemiliknya. Bukannya aku seharusnya malah senang karena bisa ada kesempatan bicara
sama Aufan? Kok malah gak berani ngomong. Huft... batinnya.
Tiba-tiba Aulin merasakan ada langkah
kaki yang mendekat. Ia menoleh. Ada Aufan dengan senyum yang mengarah padanya.
“Kok belum pulang?” tanyanya. Jantung
Aulin serasa berhenti.
“La... lagi ada tugas tadi,” Jawabnya gugup. Aufan mengangguk-angguk.
“I... ini. Aku mau ngembaliin kartu
ini. Punyamu, kan? Tadi jatuh,”
Aulin menyerahkan kartu itu pada Aufan. Aufan tersenyum senang.
“Alhamdulillah, makasih banyak, ya,
Lin. Aku kira ini bakal hilang. Untung kamu yang nemuin. Kalau orang lain
mungkin sudah dibuang,” Aufan
menepuk pundak Aulin. Aulin kaget. Mengapa Aufan bisa mengetahui namanya?
Mengapa Aufan menyentuh pundaknya? Mengapa,
oh, mengapaaa!! Teriaknya dalam hati sambil menutup mata.
“Heh, kok belum pulang?” tanya Pak
Satpam yang telah berdiri di depannya. Satpam?
Oh, ternyata tadi cuma khayalan. Ya, KHAYALAN BELAKA. Sekali lagi, ada banyak
kemustahilan atas khayalan tersebut.
Pertama, mana mungkin Aufan tersenyum
padanya tiba-tiba. Kenapa tidak? Kalau
cuma senyum, kan, gak apa-apa! Batin
Aulin.
Kedua, mana mungkin Aufan tahu
namanya. Ya, siapa tahu Aufan gitu-gitu
perhatian sama aku. Setidaknya tahu namaku. Kan dia tinggal di asrama. Ada Ezha
dan yang lain yang sekelas sama aku. Mungkin aja dia tahu dari mereka, kan?
Lagi-lagi protes.
Ketiga, ikhwan kayak Aufan gak
bakal nyentuh cewek yang gak mahram sama dia.
Apalagi, Aufan orang yang konsisten. Uuuuh!
Oke oke. Itu cuma khayalan. Khayalanku yang bodoh banget. Iiiih, sebel! Segitu gak ada peluangkah untukku?
“Mbaak?” panggil Pak Satpam yang
sedari tadi tidak mendapat jawaban.
“Haa? Apa, Pak? Kenapa?” Aulin
gelagapan.
“Kok belum pulang? Udah sore.”
“Oh, iya, Pak. Nih udah mau pulang.”
Jawab Aulin singkat. Pak Satpam meninggalkannya. Aulin meraih saku celananya.
Ia menimang-nimang kartu milik Aufan. Berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan.
Kembali ia memandang lekat kartu itu. Tepatnya pada
nama yang tertera di sana. Hmm. Nama itu.
.xXXXx.
Seorang siswa baru saja selesai sholat
ashar dan ingin segera kembali menuju asrama. Ia berjalan cepat menuju sandal
jepitnya. Saat akan memakai sandalnya, ia melihat ada sesuatu di atas sandal
itu. Kertas kecil dan...
“Kartuku! Akhirnya ketemu!” serunya.
Ia pun memungut sepotong kertas yang ada di bawahnya. Aufan membacanya pelan.
‘Tadi
jatuh. Lain kali hati-hati, ya!’ Aufan tersenyum. Lalu menoleh ke
sekelilingnya. Namun sekolah sudah sepi. Ia tidak menjumpai seorang pun.
Akhirnya ia menyimpan kartu itu. Juga kertas tadi. Kemudian dengan tersenyum ia kembali ke asrama. Di balik tembok masjid,
Aulin bernafas lega melihat kartu yang tadi di tangannya kini telah sampai pada
pemiliknya.
.xXXXx.
“Wah, tumben, tuh, si Nafo dateng,” bisik Husni pada Aulin. Aulin mengangguk
sambil menebar senyum manisnya. Mereka sedang berada
dalam rapat kegiatan organisasi ROHIS. Dan kali ini Aufan datang.
“Senyummu gak manis, Lin. Kecut. Haha...” Salwa tertawa.
“Ehm! Jangan bikin forum dalam forum,
ya!” Kak Zein yang memimpin pertemuan itu
menegur galak. Husni, Salwa dan Aulin merengut.
“Nyante, Dek. Aku gak marah beneran, kok,”
Kak Zein tersenyum. Ketiga anak tadi pun nyengir kuda.
“Oke, sekarang pembentukan panitia.
Ketua kegiatan kali ini adalah Aufan!” serunya. Aufan langsung berdiri.
“Siapa yang nyuruh berdiri?” tanya Kak
Zein sambil cengar-cengir.
“Yaa, supaya pada kenal sama ketuanya,
gitu,” dengan
pedenya ia berkata.
“Huuuuuu!” yang lain menimpali. Aulin
ikut tersenyum.
“Sekretarisnya...” Kak Zein
menggantungkan kalimatnya. Husni dan Salwa yang berada di samping kiri kanan
Aulin berbisik,
“Aulin, Aulin, Aulin!”
“Salwa!” seru Kak Zein. Salwa langsung
berdiri karena kaget.
“Hah? Maaf, Kak, aku gak bisa.
Bener-bener gak bisa. Ini kan acara yang
cukup besar. Mending yang berpengalaman aja,”
Tolak Salwa.
“Coba aja dulu. Ini sudah di bicarakan
sama alumni. Tolong jangan ada yang menolak ya!” Kata Kak Zein tegas. Salwa
melirik Aulin. Aulin tersenyum.
“Ayolah. Nyante wae!” kata Aulin.
“Sekretaris II Rizka.
Bendahara I Ezha. Bendahara II
Bila,” Kak Zein menetapkan panitia lainnya.
“Koordinator acara, Aulindya!” Seru Kak Zein sambil menoleh ke arah Aulin.
“Ha? Aku?” Aulin hendak protes. Koordinator acara? Gila! Berat amat tugasku! Tetapi begitu melihat mata Kak Zein yang mendelik galak seperti hendak menghabisinya, ia hanya tersenyum kecil.
“Si... siap,” pelan Aulin. Husni tertawa kecil.
“Yang jadi pembantunya,
Husni!” lanjut Kak Zein. Husni terlonjak kaget.
Giliran Salwa dan Aulin yang tertawa.
.xXXXx.
Kegiatan ROHIS yang akan diadakan kali ini adalah kegiatan terakhir sebelum jabatan
angkatan tahun ini akan diganti. Sebentar lagi ujian tengah semester akan
dilaksanakan. Walau mepet, semua harus tetap berjalan
sesuai jadwal. Belajar tetap, kegiatan lancar.
Kegiatan kali ini ialah kajian yang
berupa talkshow yang berisikan tentang organisasi/aliran Islam yang banyak bermunculan terutama di Indonesia ini. Dan karena
aliran-aliran tersebut banyak menjadikan pemuda sebagai pengikut, maka untuk
itu, perlu diadakannya kajian untuk menambah wawasan dan memperkuat keimanan
para pemuda, dimulai dari sekolah dalam kegiatan tersebut.
“Gimana, Mbak Sekretaris?” tanya
Aufan. Salwa menoleh.
“Alhamdulillah proposal sudah hampir
selesai. Tinggal sentuhan akhir,” jawabnya. Aufan mengangguk angguk.
“Bendahara?” tanyanya pada Ezha. Ezha menjelaskan
keadaan keuangan.
Semenjak ia menjadi sekretaris
kegiatan ini, Salwa cukup dekat dengan Aufan. Salwa mendekati Husni dan Aulin
yang sedang mencoba menyusun acara.
“Nafo dekat sama Nilam, anak kelas
sebelahnya. Aku juga sering lihat dia
sama Fanni. Sabar, ya, Lin! Hehe.”
“Kamu tau dari mana, Wa?” tanya Husni.
“Sebagian dari pengamatan, sebagian
tau pas cerita-cerita bareng pas rapat.”
“Wah, bayangin aja, aku harus bersaing
sama nilam yang cantik dan supel. Ditambah lagi fanni yang pinter abis. Cantik
juga, pula! Haduh, gawat,” curhatnya pada Salwa dan Husni.
“Hehehe... aku jadi inget sesuatu.
Tadi pas rapat, aku kan belum absen. Kan aku nulis di papan tulis melulu.
Akhirnya, Nafo nulisin namaku. Padahal aku gak minta, lho!” cerita Salwa. Aulin
memandangnya dengan pandangan yang mudah diartikan; mewek penuh iri.
“Maaf, Lin. Tenang aja. Aku gak bakal
suka sama cowok yang sama. Tau sendiri, kan, aku lagi suka sama *Piiiip, hehe.”
“Piiiiip atau…
uhuk uhuk, Ezha. Eh, keceplosan,” Husni usil.
“Coba aku yang
jadi sekretaris, ya,” Aulin menerawang.
“Menurutku
kamu emang cocok jadi sekretaris,” suara dari belakang. Sejak awal berbicara,
Aulin sudah tahu kalau pemilik suara itu adalah Aufan. Bodohnya, seakan malu
banget, ia tidak menoleh—hal wajar yang seharusnya dilakukan—karena malu dan
deg-degan. Berbeda dengan Husni dan Salwa yang spontan menoleh. Baru setelah
itu Aulin ikut menoleh. Meskipun tidak memandang persis pada wajah rupawan
Aufan.
“Ooo, gitu.
Berarti kamu lebih milih Aulin, nih?” ucap Salwa.
“Ya nggak gitu
juga, Mbak Sek! Kalo yang sekarang ini udah pas. Aku ketuanya, kamu
sekretarisnya,” balas Aufan. Salwa tersenyum. Aulin mewek lagi dalam hati. Ia
jadi agak sebal dengan Salwa.
“Lagian, kamu
sendiri yang sering promosi kalau temenmu ini udah pengalaman jadi sekretaris,”
lanjut Aufan. Aulin kaget mendengarnya. Dalam hati ia mengaku bersalah telah
sebal pada Salwa. Aaa~ Salwa emang sahabat
terbaikkuuu! Jeritnya dalam hati.
“Oya, gimana
acaranya?” Aufan menoleh pada Aulin yang agak menunduk. Karena malu, Aulin jadi
tidak bisa bicara sepatah kata pun dan wajahnya tetap menunduk. Akhirnya Aufan
yang berjongkok di depan Aulin.
“Aulin,
acaranya gimana? Udah sampe mana?” tanya Aufan pelan, sambil tersenyum. Senyum itu… Aulin berdebar. Hatinya
berbunga-bunga. Karena tak juga menjawab, Aufan mengambil lembaran kertas dari
tangan Aulin lalu membacanya. Setelah membaca, Aufan mengangguk-angguk sambil
tetap tersenyum. Kamudian ia berdiri.
“Kamu hebat.
Aku salut sama kamu. Rancangan acaramu bisa dikatakan sempurna,” Aufan
memberikan kembali kertas tadi pada Aulin sambil mengelus kepala Aulin.
“Wooi!! Udah
siap beluuum?” Husni menepuk agak keras bahu Aulin.
“Aduh! Sakit,
dudul!” Aulin mengaduh. Lamunannya buyar seketika. Lamunan? Ya, tidak ada
kejadian Aufan menanyainya, apalagi mengelus kepalanya. Setelah Aufan berbicara
dengan Salwa, ia langsung ke depan untuk melanjutkan agenda rapat.
“Bagaimana,
sie acara sudah siap?” Tanya Aufan. Aulin diam mencerna keadaan. Siap? Siap apa, sih? Batinnya.
“Sie acara!”
seru Aufan agak keras.
“Ya!” Aulin
mengangkat tangan kanannya. “Hadir…” pelannya. Seisi ruangan diam
memperhatikan. Salwa menutup wajahnya. Duuh.
Kumat lagi ni bocah.
“Silahkan maju
dan presentasikan pekerjaan kalian,” perintah si ketua. Aulin tergagap. Ia
melirik Husni. Husni malah geleng-geleng.
“Tugas kamu,
tau. Yang presentasi kan cuma koor sie. Kamu, sih kebanyakan ngelamun!” Husni
malah memarahinya. Ini memang salahnya senidiri. Jadi untuk waktu yang sangat
singkat ini, ia memilih untuk mempresentasikan apa yang bisa ia presentasikan
untuk saat ini. Ia maju ke depan, dengan membawa selembar kertas yang tadi ia
gunakan untuk memperhitugkan acara dan waktu. Masih sama sekali belum ada
susunan, bahkan daftar kegiatan dalam acara itu pun belum ia tentukan. Salwa
tahu temannya itu sedang dalam masalah. Tetapi ia tidak dapat melakukan
apa-apa. Ia hanya berharap, Aulin dapat menyelesaikan masalahnya itu dengan
baik. Agar namanya tidak tercoreng di mata umum, terutama di mata Aufan.
“Assalamu’alaikum
wa rahmatullahi wa barokatuh,” Aulin mengucapkan salam. Serempak para panitia
lain di sana menjawabnya. Aulin awalnya bingung dan gelisah. Namun itu hanya
berlangsung beberapa detik. Karena di detik berikutnya, ia sudah tampak percaya
diri dan menguasai keadaan. Kertas yang tadi ia bawa kembali ia lipat dan
disimpan dalam saku.
“Rekan-rekan
panitia sekalian, saya Aulindya selaku kordinator acara. Dalam jangka waktu dua
minggu setelah pembentukan panitia, kami telah mempunyai rancangan kegiatan
untuk acara kita. Seperti pada umumnya, kami menetapkan rancangan kegiatan,
seperti pembukaan, sambutan, kalam Ilahi, acara inti, tanya-jawab-doorprize dan
penutup. Untuk pengisi acaranya ditentukan langsung oleh panitia inti. Dan
untuk pembagian tugasnya akan disepakati bersama.
Tetapi
sebelumnya, saya ingin membuka kesempatan kepada teman-teman untuk
menyumbangkan pikirannya kepada kami dalam urusan kegiatan ini. Apa di antara
kalian ada yang ingin mengoreksi rancangan acara saya atau ada yang ingin
menyumbang inovasi baru dalam kegiatan kita ini?” pandangan Aulin mengarah pada
forum dengan senyum penuh percaya diri.
Dalam hati ia
bersyukur dapat berbicara selancar itu. Husni menghela nafas lega melihatnya.
Begitu pula Salwa. Tau gak, Lin? Nafo gak
berhenti ngeliatin kamu sambil senyum, lho! Seru Salwa senang dalam hati.
Ya, Aufan memang memandangi Aulin dengan tersenyum, di sudut ruangan. Tanpa
Aulin sadari.
Beberapa anak
menyumbangkan suara. Di sangga oleh yang lain, ditolak dan disetujui. Setelah
semua sudah terasa pas, Aulin
mengundurkan diri dan duduk di samping Husni. Husni mengancungkan dua
jempol pada Aulin. “Thanks,” kata Aulin senang. Rapat dilanjutkan. Sesekali
Aulin mencuri pandang pada Aufan. Dan pada sebuah detik yang indah, mata Aulin
bertemu dengan mata Aufan. Aulin seperti terpaku. Dan hari itu ia nobatkannya
sebagai hari terindahnya.
.xXXXx.
Umurnya masih
lima tahun saat itu. Di manado, rumahnya sangat dekat dengan pantai. Ia sangat
senang bermain di sana. Karena orang tuanya sangat sibuk bekerja, ia lebih
sering bermain sendiri. Kadang ia berjalan sendiri menuju pantai. Di sana, ia
sering bertemu dengan anak sebayanya. Anak itu sangat baik, begitu pula orang
tuanya. Mereka pun menjadi kawan dekat yang sangat akrab. Sampai setahun
kemudian. Karena kecelakaan, ayah gadis kecil itu meninggal dunia.
Meninggalkannya yang masih sangat butuh kasih saying seorang ayah. Selama ini
ayahnya memang sibuk bekerja, tetapi setidaknya jika ia menangis meraung-raung
ayahnya akan menuruti permohonan anaknya untuk bisa bermanja-manja dengannya.
Namun kini, meski menangis tak berhenti selama berhari-hari, ayahnya tak akan
datang lagi.
“Ayaaah!”
tiba-tiba Aulin terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajahnya yang telah basah
tanpa ia sadari. Ia menarik nafas beberapa kali, beristighfar dan berdoa. Ia
melirik jam. 02.30. ia berdiri, memutuskan untuk bertahajjud pada Yang Kuasa,
yang telah membuatnya mengingat kejadian 9 tahun lalu.
.xXXXx.
Hari H
kegiatan ROHIS membuat sibuk para
panitia. Bahkan Sie Humas dan Dana Usaha yang bekerja prakegiatan pun diminta
membantu panitia lain. Sebagai koordinator divisi acara Aulin harus bekerja
sebaik mungkin. Ia memberikan briefing pada panitia sebelum acara dimulai.
Setelah acara dimulai, ia mengawasi dan mempersiapkan petugas tiap kegiatan. Husni
ia tugasi untuk menjadi timer. Acara pun berjalan dengan baik. Peserta kegiatan
tampak antusias saat sesi tanya jawab, meski saat materi mereka banyak yang
ribut.
Acara berakhir
tepat pukul 03.00, sesuai dengan petunjuk teknis yang Aulin buat. Evaluasi
acara, beberapa hal yang dinilai kurang benar diungkapkan di sini. Oleh panitia
sendiri, oleh para demisioner maupun oleh alumni yang mengawasi. Terakhir, Kak
Zein sebagai ketua ROHIS berkata,
“Bagaimana
pun, acara hari ini telah sukses dengan jerih payah kalian! Saya bangga! Tepuk
tangan buat kalian!”
Semua yang ada
di sana bertepuk tangan dengan meriah. Sama-sama senang dengan hasil kerja
keras mereka. Dan lega, akhirnya beban sebagai penyelenggara kegiatan telah
selesai. Hal ini paling dirasakan oleh Aufan sebagai ketua pelaksana.
“Teman-teman,
saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya atas kerja sama kita dalam
kepanitiaan kali ini. Saya sebagai ketua tidak akan berhasil jika tidak ada
kerja sama yang baik dari panitia lainnya. Saya bersyukur menjadi ketua dengan
kalian para anggotanya. Sekali lagi, terima kasih!” Aufan tersenyum. Aulin
terpesona, ikut senyum-senyum sendiri.
“Selain itu,
di sini saya juga mau pamitan,” kata Aufan menggantung. Aulin langsung
tersentak.
“Setelah
penerimaan rapor mid semester minggu depan, saya pindah sekolah. Orang tua di
manado pengen saya tinggal di sana,” ucap Aufan dengan agak sedih.
“Saya senang
bisa kenal dengan kalian dan saya harap ini bukan pemutus tali persaudaraan
kita. Ikatan pertemanan kita tak akan terbatas oleh jarak,” Aufan tersenyum
lagi. Tetapi kali ini berbeda. Ini bukan khayalan Aulin. Aulin tahu ini nyata.
Aufan tersenyum dengan tatapan sedih itu tepat pada Aulin. Aulin ingin
menangis. Perlahan-lahan, ia mundur dan tanpa ada yang sadar ia keluar dan
menuju masjid, lantai atas.
Ia sendiri di
sana. Ia tak ingin menangis dan ia memang tidak menangis. Tetapi matanya sendu
menunduk dengan tangan memeluk kedua lututnya. Pulang ke manado? Ternyata dia orang manado ya. Bagian mana ya? Jauh
gak ya dari rumah Ayah? Dari pantai… Aulin menerawang.
“Lin…”
ternyata Salwa dan Husni menyusulnya.
“Namanya juga
takdir, Lin,” sahut Husni.
“Nah, kamu
jadi bebas, kan? Kamu jadi gak usah jadi pungguk merindukan bulan lagi, kan?”
Salwa berusah menghibur.
“Tapi boleh
gak aku nanya, kenapa harus Aufan? Kenapa harus pindah? Kenapa harus ke
manado?”
“Boleh aja
kamu nanya. Husni tadi udah nyebutin jawabannya. Takdir,” Salwa merangkul
Aulin.
.xXXXx.
0 komentar:
Posting Komentar