Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Kerang Pantai (2)

  • Minggu, 16 September 2012
  • Malika Nur Azkiyah

  • Lagi-lagi ia pulang terlambat. Namun kali ini ia sudah izin terlebih dahulu pada ibunya. Jadi ia merasa sedikit tenang. Azan ashar berkumandang. Ia telah siap di mesjid sekolahnya. Ia akan segera pulang setelah ini. Kembali hujan rintik-rintik. Aulin sholat dengan khusyuk. Saat itu masih ada beberapa anak di sekolah. Ia tidak merasa sendirian.
    Saat Aulin hendak memakai sepatu, ia teringat akan kartu milik Aufan. Ia ingin segera memberikannya sebelum Aufan kebingungan mencarinya. Ia mencari cara agar tak perlu berbicara dengannya untuk mengembalikan kartu itu pada pemiliknya. Bukannya aku seharusnya malah senang karena bisa ada kesempatan bicara sama Aufan? Kok malah gak berani ngomong. Huft... batinnya.
    Tiba-tiba Aulin merasakan ada langkah kaki yang mendekat. Ia menoleh. Ada Aufan dengan senyum yang mengarah padanya.
    “Kok belum pulang?” tanyanya. Jantung Aulin serasa berhenti.
    “La... lagi ada tugas tadi,” Jawabnya gugup. Aufan mengangguk-angguk.
    “I... ini. Aku mau ngembaliin kartu ini. Punyamu, kan? Tadi jatuh,” Aulin menyerahkan kartu itu pada Aufan. Aufan tersenyum senang.
    “Alhamdulillah, makasih banyak, ya, Lin. Aku kira ini bakal hilang. Untung kamu yang nemuin. Kalau orang lain mungkin sudah dibuang,” Aufan menepuk pundak Aulin. Aulin kaget. Mengapa Aufan bisa mengetahui namanya? Mengapa Aufan menyentuh pundaknya? Mengapa, oh, mengapaaa!! Teriaknya dalam hati sambil menutup mata.
    “Heh, kok belum pulang?” tanya Pak Satpam yang telah berdiri di depannya. Satpam? Oh, ternyata tadi cuma khayalan. Ya, KHAYALAN BELAKA. Sekali lagi, ada banyak kemustahilan atas khayalan tersebut.
    Pertama, mana mungkin Aufan tersenyum padanya tiba-tiba. Kenapa tidak? Kalau cuma senyum,  kan, gak apa-apa! Batin Aulin.
    Kedua, mana mungkin Aufan tahu namanya. Ya, siapa tahu Aufan gitu-gitu perhatian sama aku. Setidaknya tahu namaku. Kan dia tinggal di asrama. Ada Ezha dan yang lain yang sekelas sama aku. Mungkin aja dia tahu dari mereka, kan? Lagi-lagi protes.
    Ketiga, ikhwan kayak Aufan gak bakal nyentuh cewek yang gak mahram sama dia. Apalagi, Aufan orang yang konsisten. Uuuuh! Oke oke. Itu cuma khayalan. Khayalanku yang bodoh banget. Iiiih, sebel! Segitu gak ada peluangkah untukku?
    “Mbaak?” panggil Pak Satpam yang sedari tadi tidak mendapat jawaban.
    “Haa? Apa, Pak? Kenapa?” Aulin gelagapan.
    “Kok belum pulang? Udah sore.”
    “Oh, iya, Pak. Nih udah mau pulang.” Jawab Aulin singkat. Pak Satpam meninggalkannya. Aulin meraih saku celananya. Ia menimang-nimang kartu milik Aufan. Berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan. Kembali ia memandang lekat kartu itu. Tepatnya pada nama yang tertera di sana. Hmm. Nama itu.

    .xXXXx.

    Seorang siswa baru saja selesai sholat ashar dan ingin segera kembali menuju asrama. Ia berjalan cepat menuju sandal jepitnya. Saat akan memakai sandalnya, ia melihat ada sesuatu di atas sandal itu. Kertas kecil dan...
    “Kartuku! Akhirnya ketemu!” serunya. Ia pun memungut sepotong kertas yang ada di bawahnya. Aufan membacanya pelan.
    Tadi jatuh. Lain kali hati-hati, ya!’ Aufan tersenyum. Lalu menoleh ke sekelilingnya. Namun sekolah sudah sepi. Ia tidak menjumpai seorang pun. Akhirnya ia menyimpan kartu itu. Juga kertas tadi. Kemudian dengan tersenyum ia kembali ke asrama. Di balik tembok masjid, Aulin bernafas lega melihat kartu yang tadi di tangannya kini telah sampai pada pemiliknya.

    .xXXXx.

    “Wah, tumben, tuh, si Nafo dateng,bisik Husni pada Aulin. Aulin mengangguk sambil menebar senyum manisnya. Mereka sedang berada dalam rapat kegiatan organisasi ROHIS. Dan kali ini Aufan datang.
    “Senyummu gak manis, Lin. Kecut. Haha...” Salwa tertawa.
    “Ehm! Jangan bikin forum dalam forum, ya!” Kak Zein yang memimpin pertemuan itu menegur galak. Husni, Salwa dan Aulin merengut.
    “Nyante, Dek. Aku gak marah beneran, kok,” Kak Zein tersenyum. Ketiga anak tadi pun nyengir kuda.
    “Oke, sekarang pembentukan panitia. Ketua kegiatan kali ini adalah Aufan!” serunya. Aufan langsung berdiri.
    “Siapa yang nyuruh berdiri?” tanya Kak Zein sambil cengar-cengir.
    “Yaa, supaya pada kenal sama ketuanya, gitu,dengan pedenya ia berkata.
    “Huuuuuu!” yang lain menimpali. Aulin ikut tersenyum.
    “Sekretarisnya...” Kak Zein menggantungkan kalimatnya. Husni dan Salwa yang berada di samping kiri kanan Aulin berbisik,
    “Aulin, Aulin, Aulin!”
    “Salwa!” seru Kak Zein. Salwa langsung berdiri karena kaget.
    “Hah? Maaf, Kak, aku gak bisa. Bener-bener gak bisa. Ini kan acara yang cukup besar. Mending yang berpengalaman aja,” Tolak Salwa.
    “Coba aja dulu. Ini sudah di bicarakan sama alumni. Tolong jangan ada yang menolak ya!” Kata Kak Zein tegas. Salwa melirik Aulin. Aulin tersenyum.
    “Ayolah. Nyante wae!” kata Aulin.
    Sekretaris II Rizka. Bendahara I Ezha. Bendahara II Bila,” Kak Zein menetapkan panitia lainnya.
    “Koordinator acara, Aulindya!” Seru Kak Zein sambil menoleh ke arah Aulin.
    “Ha? Aku?” Aulin hendak protes. Koordinator acara? Gila! Berat amat tugasku! Tetapi begitu melihat mata Kak Zein yang mendelik galak seperti hendak menghabisinya, ia hanya tersenyum kecil.
    “Si... siap,pelan Aulin. Husni tertawa kecil.
    Yang jadi pembantunya, Husni!” lanjut Kak Zein. Husni terlonjak kaget. Giliran Salwa dan Aulin yang tertawa.

    .xXXXx.

    Kegiatan ROHIS yang akan diadakan kali ini adalah kegiatan terakhir sebelum jabatan angkatan tahun ini akan diganti. Sebentar lagi ujian tengah semester akan dilaksanakan. Walau mepet, semua harus tetap berjalan sesuai jadwal. Belajar tetap, kegiatan lancar.
    Kegiatan kali ini ialah kajian yang berupa talkshow yang berisikan tentang organisasi/aliran Islam yang banyak bermunculan terutama di Indonesia ini. Dan karena aliran-aliran tersebut banyak menjadikan pemuda sebagai pengikut, maka untuk itu, perlu diadakannya kajian untuk menambah wawasan dan memperkuat keimanan para pemuda, dimulai dari sekolah dalam kegiatan tersebut.
    “Gimana, Mbak Sekretaris?” tanya Aufan. Salwa menoleh.
    “Alhamdulillah proposal sudah hampir selesai. Tinggal sentuhan akhir,jawabnya. Aufan mengangguk angguk.
    “Bendahara?” tanyanya pada Ezha. Ezha menjelaskan keadaan keuangan.
    Semenjak ia menjadi sekretaris kegiatan ini, Salwa cukup dekat dengan Aufan. Salwa mendekati Husni dan Aulin yang sedang mencoba menyusun acara.
    “Nafo dekat sama Nilam, anak kelas sebelahnya. Aku  juga sering lihat dia sama Fanni. Sabar, ya, Lin! Hehe.”
    “Kamu tau dari mana, Wa?”  tanya Husni.
    “Sebagian dari pengamatan, sebagian tau pas cerita-cerita bareng pas rapat.”
    “Wah, bayangin aja, aku harus bersaing sama nilam yang cantik dan supel. Ditambah lagi fanni yang pinter abis. Cantik juga, pula! Haduh, gawat,curhatnya pada Salwa dan Husni.
    “Hehehe... aku jadi inget sesuatu. Tadi pas rapat, aku kan belum absen. Kan aku nulis di papan tulis melulu. Akhirnya, Nafo nulisin namaku. Padahal aku gak minta, lho!” cerita Salwa. Aulin memandangnya dengan pandangan yang mudah diartikan; mewek penuh iri.
    “Maaf, Lin. Tenang aja. Aku gak bakal suka sama cowok yang sama. Tau sendiri, kan, aku lagi suka sama *Piiiip, hehe.”
    “Piiiiip atau… uhuk uhuk, Ezha. Eh, keceplosan,” Husni usil.
    “Coba aku yang jadi sekretaris, ya,” Aulin menerawang.
    “Menurutku kamu emang cocok jadi sekretaris,” suara dari belakang. Sejak awal berbicara, Aulin sudah tahu kalau pemilik suara itu adalah Aufan. Bodohnya, seakan malu banget, ia tidak menoleh—hal wajar yang seharusnya dilakukan—karena malu dan deg-degan. Berbeda dengan Husni dan Salwa yang spontan menoleh. Baru setelah itu Aulin ikut menoleh. Meskipun tidak memandang persis pada wajah rupawan Aufan.
    “Ooo, gitu. Berarti kamu lebih milih Aulin, nih?” ucap Salwa.
    “Ya nggak gitu juga, Mbak Sek! Kalo yang sekarang ini udah pas. Aku ketuanya, kamu sekretarisnya,” balas Aufan. Salwa tersenyum. Aulin mewek lagi dalam hati. Ia jadi agak sebal dengan Salwa.
    “Lagian, kamu sendiri yang sering promosi kalau temenmu ini udah pengalaman jadi sekretaris,” lanjut Aufan. Aulin kaget mendengarnya. Dalam hati ia mengaku bersalah telah sebal pada Salwa. Aaa~ Salwa emang sahabat terbaikkuuu! Jeritnya dalam hati.
    “Oya, gimana acaranya?” Aufan menoleh pada Aulin yang agak menunduk. Karena malu, Aulin jadi tidak bisa bicara sepatah kata pun dan wajahnya tetap menunduk. Akhirnya Aufan yang berjongkok di depan Aulin.
    “Aulin, acaranya gimana? Udah sampe mana?” tanya Aufan pelan, sambil tersenyum. Senyum itu… Aulin berdebar. Hatinya berbunga-bunga. Karena tak juga menjawab, Aufan mengambil lembaran kertas dari tangan Aulin lalu membacanya. Setelah membaca, Aufan mengangguk-angguk sambil tetap tersenyum. Kamudian ia berdiri.
    “Kamu hebat. Aku salut sama kamu. Rancangan acaramu bisa dikatakan sempurna,” Aufan memberikan kembali kertas tadi pada Aulin sambil mengelus kepala Aulin.
    “Wooi!! Udah siap beluuum?” Husni menepuk agak keras bahu Aulin.
    “Aduh! Sakit, dudul!” Aulin mengaduh. Lamunannya buyar seketika. Lamunan? Ya, tidak ada kejadian Aufan menanyainya, apalagi mengelus kepalanya. Setelah Aufan berbicara dengan Salwa, ia langsung ke depan untuk melanjutkan agenda rapat.
    “Bagaimana, sie acara sudah siap?” Tanya Aufan. Aulin diam mencerna keadaan. Siap? Siap apa, sih? Batinnya.
    “Sie acara!” seru Aufan agak keras.
    “Ya!” Aulin mengangkat tangan kanannya. “Hadir…” pelannya. Seisi ruangan diam memperhatikan. Salwa menutup wajahnya. Duuh. Kumat lagi ni bocah.
    “Silahkan maju dan presentasikan pekerjaan kalian,” perintah si ketua. Aulin tergagap. Ia melirik Husni. Husni malah geleng-geleng.
    “Tugas kamu, tau. Yang presentasi kan cuma koor sie. Kamu, sih kebanyakan ngelamun!” Husni malah memarahinya. Ini memang salahnya senidiri. Jadi untuk waktu yang sangat singkat ini, ia memilih untuk mempresentasikan apa yang bisa ia presentasikan untuk saat ini. Ia maju ke depan, dengan membawa selembar kertas yang tadi ia gunakan untuk memperhitugkan acara dan waktu. Masih sama sekali belum ada susunan, bahkan daftar kegiatan dalam acara itu pun belum ia tentukan. Salwa tahu temannya itu sedang dalam masalah. Tetapi ia tidak dapat melakukan apa-apa. Ia hanya berharap, Aulin dapat menyelesaikan masalahnya itu dengan baik. Agar namanya tidak tercoreng di mata umum, terutama di mata Aufan.
    “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh,” Aulin mengucapkan salam. Serempak para panitia lain di sana menjawabnya. Aulin awalnya bingung dan gelisah. Namun itu hanya berlangsung beberapa detik. Karena di detik berikutnya, ia sudah tampak percaya diri dan menguasai keadaan. Kertas yang tadi ia bawa kembali ia lipat dan disimpan dalam saku.
    “Rekan-rekan panitia sekalian, saya Aulindya selaku kordinator acara. Dalam jangka waktu dua minggu setelah pembentukan panitia, kami telah mempunyai rancangan kegiatan untuk acara kita. Seperti pada umumnya, kami menetapkan rancangan kegiatan, seperti pembukaan, sambutan, kalam Ilahi, acara inti, tanya-jawab-doorprize dan penutup. Untuk pengisi acaranya ditentukan langsung oleh panitia inti. Dan untuk pembagian tugasnya akan disepakati bersama.
    Tetapi sebelumnya, saya ingin membuka kesempatan kepada teman-teman untuk menyumbangkan pikirannya kepada kami dalam urusan kegiatan ini. Apa di antara kalian ada yang ingin mengoreksi rancangan acara saya atau ada yang ingin menyumbang inovasi baru dalam kegiatan kita ini?” pandangan Aulin mengarah pada forum dengan senyum penuh percaya diri.
    Dalam hati ia bersyukur dapat berbicara selancar itu. Husni menghela nafas lega melihatnya. Begitu pula Salwa. Tau gak, Lin? Nafo gak berhenti ngeliatin kamu sambil senyum, lho! Seru Salwa senang dalam hati. Ya, Aufan memang memandangi Aulin dengan tersenyum, di sudut ruangan. Tanpa Aulin sadari.
    Beberapa anak menyumbangkan suara. Di sangga oleh yang lain, ditolak dan disetujui. Setelah semua sudah terasa pas, Aulin  mengundurkan diri dan duduk di samping Husni. Husni mengancungkan dua jempol pada Aulin. “Thanks,” kata Aulin senang. Rapat dilanjutkan. Sesekali Aulin mencuri pandang pada Aufan. Dan pada sebuah detik yang indah, mata Aulin bertemu dengan mata Aufan. Aulin seperti terpaku. Dan hari itu ia nobatkannya sebagai hari terindahnya.

    .xXXXx.

    Umurnya masih lima tahun saat itu. Di manado, rumahnya sangat dekat dengan pantai. Ia sangat senang bermain di sana. Karena orang tuanya sangat sibuk bekerja, ia lebih sering bermain sendiri. Kadang ia berjalan sendiri menuju pantai. Di sana, ia sering bertemu dengan anak sebayanya. Anak itu sangat baik, begitu pula orang tuanya. Mereka pun menjadi kawan dekat yang sangat akrab. Sampai setahun kemudian. Karena kecelakaan, ayah gadis kecil itu meninggal dunia. Meninggalkannya yang masih sangat butuh kasih saying seorang ayah. Selama ini ayahnya memang sibuk bekerja, tetapi setidaknya jika ia menangis meraung-raung ayahnya akan menuruti permohonan anaknya untuk bisa bermanja-manja dengannya. Namun kini, meski menangis tak berhenti selama berhari-hari, ayahnya tak akan datang lagi.
    “Ayaaah!” tiba-tiba Aulin terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajahnya yang telah basah tanpa ia sadari. Ia menarik nafas beberapa kali, beristighfar dan berdoa. Ia melirik jam. 02.30. ia berdiri, memutuskan untuk bertahajjud pada Yang Kuasa, yang telah membuatnya mengingat kejadian 9 tahun lalu.

    .xXXXx.

    Hari H kegiatan ROHIS  membuat sibuk para panitia. Bahkan Sie Humas dan Dana Usaha yang bekerja prakegiatan pun diminta membantu panitia lain. Sebagai koordinator divisi acara Aulin harus bekerja sebaik mungkin. Ia memberikan briefing pada panitia sebelum acara dimulai. Setelah acara dimulai, ia mengawasi dan mempersiapkan petugas tiap kegiatan. Husni ia tugasi untuk menjadi timer. Acara pun berjalan dengan baik. Peserta kegiatan tampak antusias saat sesi tanya jawab, meski saat materi mereka banyak yang ribut.
    Acara berakhir tepat pukul 03.00, sesuai dengan petunjuk teknis yang Aulin buat. Evaluasi acara, beberapa hal yang dinilai kurang benar diungkapkan di sini. Oleh panitia sendiri, oleh para demisioner maupun oleh alumni yang mengawasi. Terakhir, Kak Zein sebagai ketua ROHIS berkata,
    “Bagaimana pun, acara hari ini telah sukses dengan jerih payah kalian! Saya bangga! Tepuk tangan buat kalian!”
    Semua yang ada di sana bertepuk tangan dengan meriah. Sama-sama senang dengan hasil kerja keras mereka. Dan lega, akhirnya beban sebagai penyelenggara kegiatan telah selesai. Hal ini paling dirasakan oleh Aufan sebagai ketua pelaksana.
    “Teman-teman, saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya atas kerja sama kita dalam kepanitiaan kali ini. Saya sebagai ketua tidak akan berhasil jika tidak ada kerja sama yang baik dari panitia lainnya. Saya bersyukur menjadi ketua dengan kalian para anggotanya. Sekali lagi, terima kasih!” Aufan tersenyum. Aulin terpesona, ikut senyum-senyum sendiri.
    “Selain itu, di sini saya juga mau pamitan,” kata Aufan menggantung. Aulin langsung tersentak.
    “Setelah penerimaan rapor mid semester minggu depan, saya pindah sekolah. Orang tua di manado pengen saya tinggal di sana,” ucap Aufan dengan agak sedih.
    “Saya senang bisa kenal dengan kalian dan saya harap ini bukan pemutus tali persaudaraan kita. Ikatan pertemanan kita tak akan terbatas oleh jarak,” Aufan tersenyum lagi. Tetapi kali ini berbeda. Ini bukan khayalan Aulin. Aulin tahu ini nyata. Aufan tersenyum dengan tatapan sedih itu tepat pada Aulin. Aulin ingin menangis. Perlahan-lahan, ia mundur dan tanpa ada yang sadar ia keluar dan menuju masjid, lantai atas.
    Ia sendiri di sana. Ia tak ingin menangis dan ia memang tidak menangis. Tetapi matanya sendu menunduk dengan tangan memeluk kedua lututnya. Pulang ke manado? Ternyata dia orang manado ya. Bagian mana ya? Jauh gak ya dari rumah Ayah? Dari pantai… Aulin menerawang.
    “Lin…” ternyata Salwa dan Husni menyusulnya.
    “Namanya juga takdir, Lin,” sahut Husni.
    “Nah, kamu jadi bebas, kan? Kamu jadi gak usah jadi pungguk merindukan bulan lagi, kan?” Salwa berusah menghibur.
    “Tapi boleh gak aku nanya, kenapa harus Aufan? Kenapa harus pindah? Kenapa harus ke manado?”
    “Boleh aja kamu nanya. Husni tadi udah nyebutin jawabannya. Takdir,” Salwa merangkul Aulin.

    .xXXXx.

    0 komentar:

    Posting Komentar

    (c) Copyright 2010 Azkiyah Wish. Blogger template by Bloggermint